KETIMPANGAN MANHAJ MUWAZANAH
Oleh : Al-Ustadz Arif Fat-hul Ulum bin Ahmad Saifullah
[Sumber: http://almanhaj.or.id]
Telah kita jelaskan pada pembahasan yang lalu bahwa membantah ahli bid’ah dan mengkritik mereka adalah salah satu dari pokok-pokok agama yang agung, bahkan merupakan jihad fi sabilillah yang paling utama, karena ahli bid’ah lebih berbahaya dibandingkan orang kafir. Membantah ahli bid’ah adalah salah satu pokok-pokok manhaj salaf yang diterapkan oleh para ulama salaf dari masa ke masa.
Tetapi ternyata baru-baru ini muncul kelompok sururiyyah [1] atau quthbiyyah [2] yang menyebarkan keragu-raguan terhadap manhaj salaf dalam membantah ahli bid’ah, bahkan berusaha mengganti manhaj salaf dalam masalah ini dengan manhaj mereka. Mereka cetuskan manhaj yang baru di dalam mengkritik person, tulisan dan kelompok yang mereka namakan manhaj muwazanah, yaitu manhaj yang mengharuskan bagi siapa saja yang mengkritik kesalahan person, tulisan ataupun kelompok untuk menyebutkan kebaikan dan kejelekannya secara bersamaan, karena ini adalah sikap yang adil menurut mereka. [3]. Manhaj ini dinamakan juga oleh para pencetusnya sebagai manhaj Al-‘Adl wal Inshaf.[4]
Berikut ini akan kami paparkan ketimpangan manhaj muwazanah dan bahwasanya keadilan yang hakiki adalah manhaj Islam yang dipraktekkan oleh generasi terbaik dari kalangan sahabat, tabi’in dan para imam kaum muslimin, dengan banyak menukil dari risalah Syaikhuna Al-Allamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali yang berjudul Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah Fi Naqdir Rijal wal Kutub Wath-Thowaif, cetakan kedua tahun 1413H.
MANHAJ ISLAM DAN PARA IMAM DALAM MENGKRITIK PERKATAAN DAN PERSON
[A]. Allah Subhanahu wa Ta’ala Memuji Orang-Orang Yang Beriman Tanpa Menyebut Kejelekan Mereka Dan Mencela Orang-Orang Kafir Dan Munafiq Tanpa Menyebut Kebaikan Mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji orang-orang yang beriman di dalam ayat-ayat yang banyak, dan menyebutkan pahala yang agung yang Dia siapkan bagi orang-orang yang beriman, tanpa menyebutkan sedikitpun dari kesalahan mereka –seperti yang diharuskan oleh para pencetus manhaj muwazanah- padahal : ‘Setiap anak Adam adalah selalu berbuat kesalahan”, dan hikmah yang diambil dari menyebut kebaikan mereka tanpa menyebut kejelekan mereka adalah untuk menggerakkan hati setiap manusia agar meniru dan meneladani mereka.
Di sisi lain Allah Subhanahu wa Ta’ala mencela orang-orang kafir dan munafik di dalam ayat-ayat yang banyak tanpa menyebut sedikitpun dari kebaikan mereka, karena kekufuran dan kesesatan mereka telah merusak kebaikan-kebaikan mereka dan menjadikannya tidak bernilai sama sekali seperti debu yang berterbangan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan” [Al-Furqan : 23]
Demikian juga Allah mengkisahkan kepada kita umat-umat terdahulu yang mendustakan rasul-rasul mereka. Allah sebutkan kekufuran dan kebatilan mereka dan kemudian hukuman kepada mereka dan penghancuran mereka, tanpa menyebut sedikitpun dari kebaikan mereka, karena tujuan yang asasi dari penyebutan kisah mereka adalah sebagai peringatan kepada umat-umat sesudah mereka agar menjauhi perbuatan mereka dari kekufuran dan pendustaan kepada rasul-rasul mereka, supaya tidak mengalami kehancuran sebagaimana kehancuran mereka.
Kemudian Allah juga menyebut orang-orang Yahudi dan Nashara dengan sifat-sifat buruk yang ada pada mereka, dan mengancam mereka dengan ancaman yang keras, tanpa menyebut sedikitpun dari kebaikan mereka yang telah mereka hilangkan nilainya dengan kekufuran dan pendustaan mereka terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta penyelewengan mereka terhadap kitab mereka.
Inilah manhaj Allah didalam mencela orang-orang kafir dan munafiq, dan inilah manhaj yang paling adil, karena Allah adalah Dzat yang Maha adil.
[B]. Peringatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Kepada Umatnya Dari Bahaya Ahli Bid’ah.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan umatnya dari kejelekan ahli bid’ah tanpa menyebut sedikitpun dari kebaikan mereka, karena kebaikan mereka tidak bernilai, sedangkan bahaya mereka lebih besar daripada maslahat yang diharapkan dari kebaikan mereka.
Dari Aisyah bahwasanya dia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini.
“Artinya : Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kalian. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan,maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : ‘Kami beriman keapda ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal” [Ali-Imran : 7]
Aisyah berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Jika engkau melihat orang-orang yang mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat ; mereka itulah yang disebut Allah dalam kitabNya, maka awaslah dari mereka!” [Muttafaq ‘Alaih, Shahih Bukhari 4547 dan Shahih Muslim 2665]
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Akan datang pada akhir umarku orang-orang yang menyampaikan kepada kalian apa-apa yang tidak pernah kalian dengar dan tidak pernah didengar oleh bapak-bapak kalian, maka awaslah kalian dari mereka!” [Sahih Muslim 1/12]
Merupakan hal yang dimaklumi bahwa ahli bid’ah tentu memiliki kebaikan, tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menoleh sama sekali kebaikan mereka, dan tidak menyebutkannya sama sekali, dan tidak mengatakan : “Ambillah manfaat dari kebaikan mereka dan sebutkanlah kebaikan mereka ketika mengkritik mereka!”
Tetapi sangat disayangkan bahwa keadaan sekarang ini telah berbalik seratus delapan puluh derajat, sekarang sering kita dapati seorang yang mengaku bermanhaj salaf tetapi dia loyal kepada ahli bid’ah, membela manhaj ahli bid’ah dan membela tulisan-tulisan mereka dengan mati-matian, dan di lain pihak mereka jauhkan umat dari ahli haq dan ahli sunnah ! Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raaji’uun.
[C]. Sikap Para Sahabat Dan Tabi’in Terhadap Ahli Bid’ah
Ibnu Umar berkata tentang kelompok qadariyyah : “Jika engkau bertemu mereka beritahukan bahwa Ibnu Umar berlepas diri dari mereka, dan mereka berlepas diri dari Ibnu Umar” [Diriwayatkan oleh Muslim dalam Sahihnya 1/140]
Abu Qilabah berkata : “Janganlah kalian duduk-duduk dengan ahli ahwa, karena aku khawatir mereka akan menjerumuskan ke dalam kesesatan mereka, dan mengaburkan persepsi kalian terhadap mereka” [Syarhus Sunnah oleh Imam Baghowi 1/227]
Maka lihatlah bagaimana sikap tegas para sahabat, tabi’in dan para imam terhadap ahli bid’ah, mereka peringatkan umat dari kejelekan ahli bid’ah tanpa menyebut sedikitpun dari kebaikan mereka, hal ini didasarkan atas pemahaman mereka yang benar terhadap kaidah-kaidah Islam, di antaranya kaidah masyhur.
“Menjauhkan mafsadah (kerusakan) didahulukan atas mendatangkan mashlahat”
[D]. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Meyebutkan Aib Orang-orang Tertentu Tanpa Menyebut Kebaikan Mereka Dengan Tujuan Nasihat.
[1]. Dari Aisyah bahwasanya ada seorang laki-laki meminta izin untuk bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya maka dia bersabda : “Dia adalah sejelek-jelek kerabat”. Ketika dia duduk, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bermuka manis, dan bersikap ramah kepadanya, ketika orang itu telah pergi Aisyah berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah ketika engkau melihatnya engkau bermuka manis, dan bersikap ramah kepadanya !”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wahai Aisyah, kapan engkau melihatku berbuat keji?! Sesungguhnya sejelek-jelek derajat manusia di sisi Allah adalah orang yang ditinggalkan oleh manusia karena takut kepada kejekannya” [Shahih Bukhari 6032]
Al-Imam Al-Qurthubi berkata :”Hadits ini menunjukkan bolehnya ghibah terhadap orang yang terang-terangan berbuat kefasikan atau kemaksiatan yang keji atau yang semisal itu dari kecurangan dalam menghukumi dan seruan kepada kebid’ahan, dan bolehnya mudarah (bersikap membujuk) terhadap mereka dan menjauhi bahaya kejelekan mereka selama hal itu tidak membawa kepada sikap mudahanah (menjilat) dalam agama Allah” [Fathul Bari 10/452]
[2]. Ketika Fatimah bintu Qois selesai iddahnya, dia dipinang oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepadanya : “Adapun Abu Jahm maka dia adalah seorang laki-laki yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (ringan tangan), adapun Mua’wiyah maka dia adalah seorang yang miskin tidak punya harta sama sekali, maka menikahlah dengan Usama bin Zaid” [Shahih Muslim 1480]
Tidak diragukan lagi bahwa Abu Jahm dan Mu’awiyah memiliki banyak keutamaan dan kebaikan, tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan kebaikan keduanya karena yang diharapkan oleh Fatimah bintu Qois adalah nasihat dan saran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang dua orang yang meminangnya.
Adapun para pencetus manhaj muwazanah, maka mereka mewajibkan dalam keadaan seperti ini untuk menyebut kebaikan keduanya, tanpa memperdulikan bahwa orang yang meminta nasihat akan semakin bertambah bingung dan bahkan bisa jadi terjerumus ke dalam mudharat.
[3]. Dari Aisyah bahwasanya Hindun bintu Utbah berkata : “Wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang yang pelit, dia tidak memberiku nafkah yang mencukupiku dan mencukupi anak-anaku, kecuali kalau aku mengambil darinya dalam keadaan dia tidak tahu?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Ambillah apa yang mencukupimu dan mecukupi anak-anakmu dengan cara yang ma’riuf” [Muttafaq ‘Alaih, Shahih Bukhari 3564 dan Shahih Musalim 1714]
Al-Hafidz Ibnu hajar berkata : “Hadits ini menunjukkan bolehnya menyebut seseorang dengan sifat yang tidak dia sukai jika tujuannya untuk meminta fatwa, mengadu, dan yang semisalnya, dan ini adalah salah satu dari keadan-keadaan yang dibolehkan.
Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari Hindun ketika menyebutkan kejelekan Abu Sufyan tanpa menyebut kebaikannya, padahal jelas bahwa Abu Sufyan memiliki kebaikan yang banyak.
Adapun para pencetus manhaj muwazanah, maka mereka tidak memperhatikan hal-hal seperti ini, tidak bisa membedakan antara maslahat dan mafsadah, bahkan mereka tinggalkan segi maslahat, mereka remehkan bahaya bid’ah dan mudharatnya, mereka belum sampai kepada faidah nasihat yang telah didapati oleh Islam dan para imam salaf, ketika mereka tinggalkan hal itu, terbayang kepada mereka bahwa menyebut kejelekan dan bid’ah person atau kelompok sebagai peringatan dan nasihat kepada umat merupakan sikap yang tidak adil dan penghianatan!!
[E]. Kritikan Para Imam Terhadap Ahli Bid’ah Dan Para Perawi
Para imam banyak memberikan kritikan terhadap ahli bid’ah dan para perawi, dan mereka tidak pernah mengisyaratkan sama sekali wajibnya memakai manhaj muwazanah. Mereka menulis kitab-kitab tentang Jarh wat Ta’dil, kitab-kitab tentang pembelaan kepada sunnah dan bantahan kepada hali bid’ah dan celaan kepada mereka, kitab-kitab tentang ‘ilal, kitab-kitab tentang hadits-hadits yang maudhu (palsu), dalam keadaan sama sekali tidak mereka wajibkan manhaj muwajanah di dalam kitab-kitab yang mereka tulis, bahkan mereka menulis kitab-kitab yang khusus dalam Jarh (celaan) pada perawi, tanpa mensyaratkan sama sekali manhaj muwazanah ini!
Adapun orang-orang yang mewajibkan manhaj muwazanah maka akan menganggap bahwa yang dilakukan para imam di atas merupakan sikap yang dzolim dan khianat !, kita berlindung kepada Allah dari manhaj yang sesat ini.
SYUBHAT MANHAJ MUWAZANAH DAN BANTAHANNYA
Zaid Az-Zaid berkata : “Al-Qur’an dan Sunnah telah mengajarkan kepada kita manhaj (muwazanah) ini, diantaranya firman Allah.
“Artinya : Di Antara Ahli Kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu ; dan diantara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu Dinar, tidak dikembalikannya padamu, kecuali jika kamu selalu menagihnya” [Ali-Imran : 75]
Celaan diatas diiringi, bahkan didahului oleh pujian, dan penjelasan keadaan sebagia ahli kitab dan pengakuan bahwa sebagan mereka menunaikan amanah! [5]
Berkata Syaikhuna Al-Allamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali membantah syubhat ini :
Pertama.
Sepanjang sepengetahuanku tidak ada seorangpun yang mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan atas muwazanah antara kebaikan dan kejelekan atau yang semakna dengan ibarat ini, dan tidak selayaknya seorang muslim keluar dari fiqh salaf dan pemahaman mereka.
Kedua.
Yang difahami oleh para ulama tafsir dari ayat di atas adalah peringatan kepada umat Islam dari kejelekan ahli kitab sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam Qurthubi di dalam Tafsirnya 4/116 : Allah mengkhabarkan bahwa di antara ahli kitab ada yang amanat dan ada yang pengkhianat, sedangkan orang-orang yang beriman tidak bisa memilah-milah mereka, maka selayaknya menjauhi ahli kitab semuanya.
Ketiga.
Di dalam kitab dan Sunnah banyak didapati nash-nash yang banyak sekali dalam mencela orang-orang Yahudi dan Nashrani, yang tidak menyebutkan kebaikan dan kejelekan mereka sekaligus, seperti firman Allah.
“Artinya : Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui” [Al-Baqarah : 42]
Dan firman Allah.
“Artinya : Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertahankan) Al-Masih putera Maryam ; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” [At-Taubah : 31]
Dimanakah manhaj muwazanah dalam nash-nash di atas?!
Sesungguhnya penetapan manhaj muwazanah yang bid’ah in akan membuka pintu kepada orang-orang Yahudi, Nashrani, Komunis, dan Rasionalis untuk menyerang kaum muslimin, mencela Allah dan rasulnya, dan apa yang ditulis oleh para ulama Islam dalam mengkritik kelompok-kelompok sesat, dalam masalah jarh wat ta’dil. Hal ini merupakan bukti yang jelas atas kebatilan manhaj muwazanah ini.[6]
FATWA PARA ULAMA TENTANG MANHAJ MUWAZANAH
[1]. Fatwa Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah.
Ada seorang yang bertanya kepada Samahatusy Syaikh : “Ada orang-orang yang mewajibkan muwazanah ; yaitu jika engkau mengkritik seorang ahli bid’ah maka wajib atasmu untuk menyebutkan kebaikannya agar engkau tidak mendholiminya?”.
Maka Samahatusy Syaikh menjawab : “Tidak, hal ini tidak harus, hal ini tidak harus, karena inilah jika engkau melihat kitab-kitab Ahli Sunnah, maka engkau akan mendapati apa yang dimaksud yaitu tahdzir, bacalah dalam kitab Bukhari Kholqu Af’alil Ibad dan Kitabul Adab dari Shahihnya, kitab As-Sunnah oleh Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, kitab Tauhid oleh Ibnu Khuzaimah, Bantahan Utsman bin Said Ad-Darimi kepada Ahli Bida’… dan yang lainnya.
Mereka tulis kitab-kitab ini sebagai peringatan kepada setiap muslim dari kebatilan ahli bid’ah, dan bukan bertujuan memaparkan kebaikan-kebaikan mereka … maka yang dimaksud adalah peringatan kepada setiap muslim dari kebatilan mereka, sedangkan kebaikan mereka tidak bernilai sama sekali bagi yang kafir dari mereka, jika kebid’ahan mereka adalah bid’ah yang mengkafirkan pelakunya maka hapuslah kebaikannya, dan jika bid’ahnya belum mengkafirkannya maka dia berada dalam bahaya, maka yang dimaksud adalah penjelasan kesalahan mereka yang wajib untuk dihindari dan dijauhi”
[Dari kaset Ta’lim Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz di Thoif tahun 1413H sebagaimana dalam Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah Fi Naqdir Rijal Wal Kutub wath Thowaif oleh Syaikhuna Al-Alamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hal. 9]
[2] Fatwa Syaikh Al-Alamah Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
Ada pertanyaan yang dilontarkan kepada Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan –setelah beliau ditanya tentang beberapa pertanyaan mengenai kelompok-kelompok Islam-. Baik ya Syaikh apakah engkau memperingatkan manusia dari mereka tanpa menyebut kebaikan mereka, atau engkau sebutkan kebaikan dan kejelekan mereka secara bersamaan ?
Maka Fadhilatusy Syaikh menjawab : “Jika engkau menyebut kebaikan mereka berarti engkau mengajak (manusia,-pent) kepada mereka, tidak ; jangan engkau sebut kebaikan mereka!, tetapi sebutkan kesalahan mereka saja, karena tugasmu bukanlah untuk mempelajari keadaan mereka dan menilainya… tetapi tugasmu adalah menyebutkan kesalahan yang ada pada mereka agar mereka bertaubat darinya, dan agar selain mereka menjauhi kesalahan itu. Demikian juga kesalahan yang ada pada mereka bisa jadi menghilangkan kebaikan mereka semuanya jika kesalahan itu berupa kekufuran atau kesyirikan, bisa jadi mengalahkan kebaikan mereka, dan bisa jadi itu adalah kebaikan menurut pandanganmu padahal sebenarnya bukanlah kebaikan di sisi Allah”
[Ajwibah Mufidah ‘An As’Ilatil Manahijil Jadidah hal. 13-14]
[3]. Fatwa Syaikh Al-Allamah Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah.
Ketika ditanya tentang manhaj muwazanah Syaikh Al-Albani berkata : ‘Ini adalah cara-cara ahli bid’ah. Ketika seorang ahli hadist menilai seorang perawi yang shalih atau alim atau faqih dengan perkataannya : “Fulan jelek hafalannya”, apakah dia juga mengatakan bahwa dia adalah seorang muslim atau seorang yang shalih atau seorang yang faqih atau seorang yang diambil dalam istinbath hukumnya ?! Allahu Akbar. Pada hakekatnya kaidah yang terdahulu (yaitu kaidah : setiap kebaikan adalah dalam ittiba’ kepada salaf) adalah kaidah yang sangat penting sekali yang mencakup cabang-cabang yang banyak khususnya pada zaman ini.
Dari mana mereka (pemilik manhaj muwazanah) mendapatkan dalil yang mengatakan jika seorang hendak menjelaskan kesalahan seorang muslim –jika dia adalah seorang da’i atau bukan- maka wajib bagi dia melakukan cermah yang mennjelaskan kebaikan orang tadi dari awal sampai akhir, Allahu Akbar ini adalah sesuatu yang aneh. Demi Allah ini adalah sesuatu yang aneh….”
[Silsilatul Huda wan Nur kaset no. 850 sebagaimana dalam Nashrul Aziz oleh Syaikhhuna Al-Allamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hal. 96-97]
PENUTUP
Jelaslah dari uraian di atas bahwa :
[1]. Apa yang didakwakan dari wajibnya memakai manhaj muwazanah dalam mengkritik person, tulisan, dan kelompok adalah dakwaan yang tidak ada dalilnya sama sekali dari kitab maupun sunnah, maka manhaj muwazanah adalah manhaj yang asing dan bid’ah.
[2]. Ulama salaf tidak pernah memakai manhaj muwazanah dalam mengkritik person, tulisan dan kelompok.
[3]. Wajib memperingatkan umat dari bid’ah dan ahlinya dengan kesepakatan kaum muslimin, dan boleh bahkan wajib menyebut kebid’ahan mereka dan menjauhkan manusia dari mereka.
[4]. Para ulama salaf telah menulis kitab-kitab dalam jarh wa ta’dil dan kitab-kitab yang khusus dalam jarh saja, kitab-kitab ini jumlahnya banyak sekali, tidak ada seorangpun dari mereka yang mewajibkan atau menyunahkan muwazanah, bahkan mereka mewajibkan jarh saja.
[5]. Para ulama salaf telah menulis kitab-kitab tentang sunnah dan bantahan kepad bid’ah dan ahlinya tanpa memakai manhaj muwazanah.
[6]. Manhaj salaf dilandaskan atas maslahat dan nasihat kepada umat.
[7]. Manhaj salaf adalah benteng yang teguh di dalam melindungi kaum muslimin dari bahaya dan makar ahli bid’ah.
[8]. Manhaj muwazanah akan membuka pintu kepada semua ahli bid’ah untuk merusak aqidah kaum muslimin dan melancarkan berbagai macam fitnah kepada mereka.
[9]. Wajib bagi setiap muslim untuk waspada trehadap pemikiran-pemikiran yang membahayakan aqidah dan manhajnya, tidak sepantasnya setiap muslim untuk mengikuti setiap seruan yang memperdayakan, yang akan menyebabkan tercabutnya nikmat yang paling agung, yaitu keteguhan di atas manhaj salaf.
[Disalin dari Majalah Al-Furqon edisi 8 Th III hal.25-30. Ketimpangan Manhaj Muwazanah oleh Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah, Penerbit Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami Srowo, Sidayu, Grresik JATIM]
_________
Foote Note
[1]. Nisbah kepada seorang yang bernama Muhammad Surur bin Nayif Zainal Abidin, seorang yang masyhur dengan penyimpangannya dan permusuhannya kepda para ulama salaf di dalam majalahnya As-Sunnah yang terbit di London dan di dalam tulisan-tulisannya. Dia ini dikatakan oleh Syaikhuna Al-Allamah Abdul Muhsin Al-Abbad sebagai seorang yang dengki kepada ulama ahli sunnah, untuk mengenal lebih lanjut tentang dia bisa dibaca Ajwibah Mufidah oleh Syaikh Shalih Al-Fauzan hal. 51-56 dan Fitnatut Takfir wal Hakimiyah oleh Muhammad Al-Husain hal. 92-97.
[2]. Nisbah kepda Sayyid Quthb seorang tokoh yang dikenal banyak penyimpangannya dari manhaj yang lurus, untuk membentengi diri dari bahaya pemikirannya bisa membaca kitab Mauriduz Zilat Fai Akhto’i Dhilal oleh Syaikh Abdullah Ad-Duwasiy, dan beberapa kitab Syaikhuna Al-Alamah Rabi’ Al-Madkhaly seperti Adhwa’ Islamiyah ‘Ala Aqidati Sayyid Quthb wa Fikrihi, Matha’in Sayyid Quthb Fi Ashaabi Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Al-Awashim Mimma Fi Kutub Sayyid Quthb Minal Qowasim.
[3]. Lihat Manhaj Ahlis sunnah wal Jama’ah Fi Taqwimir Rijal wa Muallaftihim oleh Ahmad Shouyan! Hal 27. Dhawabith Raiisiyyah Fi Taqwimil Jama’atil Islamiyah oleh Zaid Az-Zaid ! sebagaimana dalam Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah oleh Abu Ibrahim Al-‘Adnani hal.39, Min Ahkhlaqid Da’iyyah oleh Salman Al-Audah! Hal.40 sebagaimana dalam Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah Fi Naqdir Rijal wal Kutub wat Thowaif oleh Syaikhuna (guru kami) Al-Allamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hal. 45 dan Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah minal Bida’ wal Mubtadi’ah oleh Abdurrahman Abdul Khaliq! Hal. 1-2 sebagaimana dalam Jama’ah Wahidah oleh Syaikhuna (guru kami) Al-Allamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hal. 149.
[4]. Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah oleh Abu Ibrahim Al-‘Adnani hal. 27.
[5]. Dhawabith Raiisiyyah oleh Zaid Az-Zaid! Sebagaimana dalam Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah oleh Abu Ibrahim Al-Adnani hal. 43 dan semakna dengan ini perkataan Ahmad Shouyan dalam Manhaj Ahli Sunnah wal Jama’ah Fi Taqwimir Rijal wa Muallafatihim sebagaimana dalam Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah Fi Naqdir Rijal wal Kutub wath Thowaif oleh Syaikhuna Al-Allamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hal. 49.
[6]. Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah Fi Naqdir Rijal Wal Kutub wath Thowaif hal. 49-51.
0 komentar:
Post a Comment