بسم الله الرحمن الرحيم
JANGAN MEMBELA KELOMPOK SESAT !
Pada artikel sebelumnya yang berjudul FATWA-FATWA ULAMA AHLUS SUNNAH TENTANG KELOMPOK-KELOMPOK ISLAM KONTEMPORER telah dijelaskan bahwa semua kelompok yang menyelisihi manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah kelompok yang menyimpang dari jalan yang benar. Pada artikel ini insya Allah terdapat penjelasan tentang hukum membela kelompok-kelompok tersebut.
Dari ‘Uqbah bin Alqomah –rahimahullah-, ia berkata, “Tatkala aku bersama Arthoah bin al-Mundzir –rahimahullah-, maka berkatalah sebagian orang yang hadir kepada beliau, “Apa pendapatmu terhadap seseorang yang bergaul dan bergabung dengan Ahlus Sunnah, namun jika disebutkan tentang kejelekan ahlul bid’ah, ia berkata, “Jangan perdengarkan kepada kami pembicaraan tentang kejelekan mereka, jangan menyebut-nyebut mereka”?”
Maka Arthoah berkata, “Orang itu termasuk ahlul bid’ah, jangan tertipu dengannya.” Maka akupun masih mengingkari perkataan Arthoah tersebut, sampai aku datang kepadaAl-Auza’iy –rahimahullah- yang lebih mengerti permasalahan seperti ini dan aku sampaikan kepada beliau perkataan Arthoah tadi, maka beliau berkata, “Benarlah Arthoah, pendapatnya benar, bahwa jika orang tersebut melarang penyebutan kejelekan ahlul bid’ah. Kalau begitu kapan mereka di-tahdzir, jika dia tidak membolehkan penyebutan tentang mereka?!” [Lihat Tarikh Dimasyq (8/15)]
Al-Imam Abu Daud As-Sijistani –rahimahullah- berkata, “Aku bertanya kepada Abu Abdillah Ahmad bin Hambal, “Aku melihat seorang dari kalangan ahlul bait bersama seorang ahlul bid’ah, apakah aku meninggalkan perkataannya?”
Al-Imam Ahmad -rahimahullah- menjawab, “Tidak, hendaklah engkau menasihatinya dulu bahwa yang bersamanya itu adalah seorang pelaku kebid’ahan. Jika dia meninggalkan pembicaraan dengannya, (maka itulah yang diinginkan). Jika tidak, maka golongkan ia bersamanya. Ibnu Mas’ud -radhiyallahu’anhu- berkata, “Seseorang itu tercermin dari sahabatnya”.” [Lihat Thabaqot al-Hanabilah (1/160)]
Al-Imam Ahmad -rahimahullah- menjawab, “Tidak, hendaklah engkau menasihatinya dulu bahwa yang bersamanya itu adalah seorang pelaku kebid’ahan. Jika dia meninggalkan pembicaraan dengannya, (maka itulah yang diinginkan). Jika tidak, maka golongkan ia bersamanya. Ibnu Mas’ud -radhiyallahu’anhu- berkata, “Seseorang itu tercermin dari sahabatnya”.” [Lihat Thabaqot al-Hanabilah (1/160)]
Al-‘Allamah Hamud at-Tuwaijiry -rahimahullah wa ghafara lahu- berkata dalam mengomentari riwayat di atas dan penerapannya kepada ahlul bid’ah (seperti Jama’ah Tabligh), “Riwayat dari al-Imam Ahmad ini sepatutnya diterapkan kepada orang-orang yang memuji Jama’ah Tabligh dan membela mereka dengan kebatilan. Barangsiapa diantara mereka yang mengetahui bahwa Jama’ah Tabligh termasuk ahlul bid’ah, sesat dan jahil, namun dia tetap memuji dan membela mereka, maka dia tergolong bersama mereka, dan diperlakukan sebagaimana mereka, dibenci, dihajr dan dijauhi[1].
Adapun apabila dia belum mengetahui hakikat Jama’ah Tabligh, maka sepatutnya untuk dikabarkan kepadanya bahwa Jama’ah Tabligh itu adalah ahlul bid’ah, sesat dan jahil. Jika telah dikabarkan kepadanya, namun dia masih saja memuji dan membela mereka, maka dia juga digolongkan kepada mereka dan diperlakukan sebagaimana mereka.” [Lihat Al-Qoulul Baligh (hal. 230), cet. Dar Ash-Shumai'iy]
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz –rahimahullah- ditanya pada pelajaran kitab Fadhlul Islam, berikut nashnya:
Pertanyaan: “Orang yang menyanjung dan memuji ahlul bid’ah, apakah dihukumi seperti mereka juga?”
Beliau menjawab: “Ya, tidak ada keraguan padanya. Barangsiapa yang menyanjung dan memuji ahlul bid’ah, maka dia adalah da’i mereka yang mengajak kepada mereka, termasuk da’i mereka. Kita mohon kepada Allah keselamatan.”[2]
Hukum Menyebarkan Buku-buku Ahlul Bid’ah
Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid -rahimahullah- berkata, “Setiap orang yang menolong mubtadi’ (ahli bid’ah), lalu ia mengagungkannya, atau mengagungkan kitab-kitabnya, menyebarkannya di antara kaum muslimin, mengangkat orang itu dan kitab-kitabnya, serta menyebarkan sesuatu yang terdapat di dalamnya berupa bid’ah dan kesesatan, sedang ia tak menyingkap penyimpangan dan perbedaan dalam perkara aqidah yang terdapat di dalamnya; sesungguhnya barangsiapa yang melakukan hal itu, maka ia telah berlebihan dalam urusannya, dan wajib diputus kejelekannya agar tak menular kepada kaum muslimin.” [Lihat Hukmul Intima' (hal. 48) sebagaimana dalam Al-Ajwibah Al-Mufidah (hal. 172)]
Inilah beberapa atsar dari para Salaf dan penjelasan para Ulama Sunnah; semuanya menegaskan kepada kita bahwa jika ada orang-orang yang memuji dan membela kelompok-kelompok sesat dan tokoh-tokohnya atau menyebarkan buku-buku mereka, maka ia tergolong dari mereka. Nas’alullahal ‘afiyah was salamah.
Syubhat dan Bantahan
Pemaparan di atas menunjukkan manhaj yang jelas di kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka sungguh mengherankan sikap orang-orang yang mencari keganjilan para Ulama demi untuk mendapatkan pembelaan atas kebatilan mereka. Lebih parah lagi ternyata perkataan para Ulama tersebut, sebenarnya tidak sesuai dengan manhaj mereka, namun mereka bawa kepada makna yang batil agar terlihat seakan itulah manhaj para Ulama. Seperti syubhat yang mereka lontarkan berikut ini:
“Lihatlah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah kala membela harga diri al-Hallaj dan menafikan perkataan-perkataan batil yang dinisbatkan padanya. Dan semua kita tentu mengenal siapa al-Hallaj tersebut. Beliau rahimahullah berkata: “Perkataan ini –wallahu a’lam- apakah ia shahih dari al-Hallaj atau tidak? Sungguh dalam sanad (tersebut) ada orang orang (rawi) yang tidak diketahui keadaannya. Aku telah menyaksikan banyak sekali yang dinisbatkan pada al-Hallaj, baik dalam buku-buku, perkataan serta risalah, merupakan kedustaan atasnya, tidak ada keraguan padanya…”. (Lihat: al-Istiqamah, I/119). Maka apakah lantaran pembelaan Syaikhul Islam terhadap al-Hallaj merupakan pembenaran terhadap akidah (wihdatul wujud)nya?? Dan apakah lantaran pembelaan beliau ini lantas kita menuding Syaikhul Islam sebagai Ahli Bid’ah lantaran membela seorang Ahli Bid’ah?! Perhatikan pula pengingkaran al-Hafidz adz-Dzahabi rahimahullah terhadap Yahya bin ‘Ammar al-Sijistaniy: “Sungguh ia terlampau keras terhadap Ahli Bid’ah dan Jahmiyah, hingga menyebabkan beliau melampaui jalan (manhaj) salaf, padahal Allah Ta’ala menjadikan segala sesuatu menurut ukurannya. Namun diakui beliau memiliki kemuliaan yang mengagungkan di Harat, pengikut serta para pendukung”. (Lihat: Siyar al-A’lam an-Nubala’, XII/481). Maka apakah pengingkaran al-Hafidz ad-Dzahabi terhadap Yahya bin Ammar al-Sijistaniy, lantaran terlalu keras terhadap ahli bid’ah dan Murji’ah sebagai pembenaran terhadap keduanya?? Atau kita pun menuding adz-Dzahabi sebagai Ahli Bid’ah lantaran membela Ahli Bid’ah?! Fa’tabiru Ya Ulil Abshaar!
Tanggapan:
Pertama: Syubhat ini kami tanyakan kepada Syaikhunasy Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali –hafizhahullah- setelah pelajaran Musthalahul Hadits di kediaman beliau di Makkah pada hari Jum’at, 13-03-1431 H, beliau menjawab singkat,“Berpegangteguhlah dengan manhaj Ahlus Sunnah yang telah jelas dan jangan ‘mencari-cari’ keganjilan-keganjilan para Ulama”.
Kedua: Sebenarnya sangat jauh jika perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah danal-Imam Adz-Dzahabi -rahimahumallah- tersebut dibawa kepada pembelaan terhadap Al-Hallaj dan ahlul bid’ah lainnya, sebab telah dimaklumi dari penjelasan para Ulama di atas bahwa membela ahlul bid’ah bukanlah dari manhaj Salaf, bahkan bertentangan dengan perkara yang sudah jelas dalam manhaj Salaf, padahal kedua Imam Ahlus Sunnah tersebut dikenal dengan kuatnya mereka dalam berpegang teguh dengan manhaj Ahlus Sunnah.
Akan tetapi yang diinginkan oleh kedua Imam Ahlus Sunnah tersebut adalah jangan sampai kita berbuat zalim kepada orang lain, seperti berdusta atas nama mereka. Bukannya membela ahlul bid’ah, apalagi memuji mereka. Hal ini sebenarnya mudah dipahami, sebab jangankan kepada ahlul bid’ah, kepada orang kafir pun kita dilarang berbuat zalim. Namun lihatlah kepintaran kaum dalam membawa perkataan Ulama sesuai dengan keinginan mereka meskipun bertentangan dengan manhaj Salaf.
Adapun jika yang mereka maksudkan dengan perbuatan zhalim tersebut adalah men-tahdzir dari ahlul bid’ah maka sesungguhnya tahdzir itu adalah nasihat, bukan suatu kezhaliman, meskipun orang yang ditahdzir itu tidak suka apabila kesesatannya ditampakkan kepada ummat. Sebagaimana telah kami jelaskan dalam artikelMemperingatkan Bahaya Kelompok Sesat, Antara Nasihat dan Cacian.
Ketiga: Jika dibaca perkataan Syaikhul Islam sebelum dan setelahnya, maka pembaca akan mengetahui bahwa sesungguhnya beliau tidaklah sedang membela Al-Hallaj, bahkan justru men-tahdzir dari Al-Hallaj. Perhatikanlah perkataan beliau sebelumnya, “Dia (Al-Hallaj) terbunuh di atas kezindikan”, beliau juga berkata,“Tidak ada satu pun dari kalangan Masyaikh jalan ini, tidak generasi awal mereka dan tidak pula generasi akhirnya, yang membenarkan Al-Hallaj pada semua perkataannya, bahkan umat telah bersepakat bahwa Al-Hallaj bisa jadi adalah seorang yang bersalah, atau pelaku maksiat, atau seorang yang fasik, bahkan bisa jadi telah kafir.” [Al-Istiqomah, (1/116)]
Adapun diantara perkataan beliau setelahnya dalam mengomentari perkataan yang disandarkan kepada Al-Hallaj tersebut, “Andaikan perkataan ini shahih maka maknanya yang benar (dibawa kepada makna) menafikkan madzhab al-Ittihad wal Hulul (yakni madzhab batil: meyakini bahwa Allah Ta’ala dapat menyatu dengan makhluk) yang telah terjatuh padanya sekelompok orang dari kelompok Tasawuf dan dinisbatkan madzhab tersebut kepada Al-Hallaj. Maka kalau begitu perkataan ini merupakan bantahan dariAl-Hallaj terhadap madzhab tersebut, (jika benar) ini adalah sesuatu yang sangat baik.” [Al-Istiqomah, (1/119)]
Perhatikanlah wahai pembaca yang budiman, kenyataan yang sebenarnya tidaklah sebagaimana yang diopinikan hizbiyun tersebut, bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- sedang menafikkan perkataan batil dari Al-Hallaj demi membela harga dirinya. Akan tetapi, perkataan yang dinafikkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- dari Al-Hallaj bukanlah suatu kebatilan (secara mutlak) yang dinisbatkan -secara dusta- kepada Al-Hallaj, namun justru yang beliau nafikkan dari Al-Hallaj adalah sesuatu yang mungkin dibawa kepada makna yang baik. Lalu apakah ini disebut pembelaan?! Fa’tabiru Ya Ulil Albaab!
Hukum Bergabung Bersama Kelompok Sesat
Telah jelas dari keterangan di atas bahwa orang yang membela ahlul bid’ah digolongkan bersama meraka, maka bagaimana lagi dengan orang-orang yang bergabung bersama kelompok-kelompok sesat tersebut?!
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan -hafizhahullah- berkata, “Maka jama’ah-jama’ah saat ini yang memiliki penyelisihan-penyelisihan terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah, orang yang menggolongkan diri ke dalam jama’ah tersebut dianggap sebagai seorang mubtadi’.” [Lihat Al-Ajwibah Al-Mufidah ‘anil As'ilatil Manahijil Jadidah (hal. 28), cet. Dar Al-Minhaj, 1426 H]
Akan tetapi Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang adil dan inshof dalam menghukumi orang lain, mereka tidak menyamaratakan semua yang bergabung ke dalam kelompok sesat sebagai ahlul bid’ah.
Asy-Syaikh Al-Muhaddits Al-‘Allamah Muqbil bin Hadi al-Wadi’iy–rahimahullah- pernah ditanya:
Pertanyaan: “Apakah Ikhwanul Muslimin masuk dalam golongan yang selamat dan yang ditolong, yakni Ahlus Sunnah wal Jama’ah, baik secara manhaj maupun anggota-anggotanya?”
Jawaban: “Adapun manhaj, maka manhaj Ikhwanul Muslimin adalah bid’ah dari asalnya dan sejak awal berdirinya. Pendirinya Hasan Al-Banna dahulu melakukan thawaf di kuburan, dia juga mengajak kepada penggabungan antara Sunnah dan Syi’ah dan merayakan maulid. Jadi, manhaj mereka dari awal berdirinya, memang manhaj bid’ah yang sesat.
Adapun anggota-anggotanya, maka kita tidak bisa menghukumi mereka sama rata. Barangsiapa yang mengetahui pemikiran-pemikiran Hasan Al-Banna yang berbuat bid’ah, kemudian ia masih saja bergabung dengannya, maka ia telah sesat. Barangsiapa yang tidak mengetahui kesesatan mereka, kemudian bergabung bersama mereka dengan tujuan menolong Islam dan kaum muslimin, sedang ia tidak mengetahui hakikat penyimpangan mereka, maka kami tidak menghukumi apapun kepadanya. Akan tetapi, kami anggap ia telah melakukan kesalahan. Wajib atasnya untuk meneliti kembali (apakah layak berdakwah bersama Ikhwanul Muslimin), agar jangan sampai waktunya habis untuk nasyid-nasyid dan sandiwara-sandiwara, serta memberi kesempatan bagi mereka untuk mengumpulkan harta.” [Lihat Tuhfatul Mujib ‘ala As-ilatil Hadhir wal Gharib (no. 77)]
Semoga Allah Ta’ala menjaga kaum muslimin dari kesesatan berbagai macam kelompok ahlul bid’ah wal furqoh.
Wallahu A’la wa A’lam wa Huwal Muwaffiq.
(Artikel ini dialihtuliskan untuk umum dari artikel khusus kami dihttp://www.almakassari.com dengan editor: Al-Ustadz Abu Faizah Abdul Qodir, Lc,jazaahullahu khairon)
Footnote:
[1] Tentunya dengan mengikuti kaidah-kaidah hajr yang telah dijelaskan para ulama.
[2] Untuk membaca teks asli dan mendengarkan fatwa Syaikh silahkan kunjungi:http://www.fatwa1.com/anti-erhab/hezbeh/ftawa_jamaat.html
0 komentar:
Post a Comment