KISAH MENGHARUKAN SEORANG ISTRI YANG DIMADU
Cerita ini adalah kisah nyata dari sahabatnya sahabatku, yang tidak ingin disebutkan nama aslinya. Ia memintaku untuk menuliskan perjalanan cintanya dalam sebuah cerita. Semoga ini juga menjadi pembelajaran untuk kita semua dan bisa memetik hikmah dari sebuah peristiwa, walau pengalaman yang datang dari orang lain.
Cinta adalah sesuatu yang lembut dan halus. Mencintai dan dicintai adalah keinginan setiap orang, karena dengan saling mencintailah kebahagian itu akan tercipta. Mencintai tapi tak dicintai, adalah hal yang wajar karena cinta adalah perasaan yang tidak bisa dipaksa. kebahagiaan tak akan terasa ada jika terjalin dari keterpaksaan.
Tapi, bagaimana jika dua insan saling mencintai tetapi salah satunya tersakiti? Masihkah itu bisa disebut dengan cinta? Silahkan anda temukan jawabannya dalam kisah cinta di bawah ini. … selamat membaca ….
Kisah cinta ini berawal ketika aku mengenalnya lewat memori hujan di sudut kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Setelah pulang kerja, aku terdesak untuk mengikuti mata pelajaran tambahan di kampus. Tetapi naas, motor yang kukendarai dengan kecepatan tinggi jatuh terhempas di jalanan membuatku tak sadarkan diri. Entah bagaimana akhirnya, wanita itu membawaku ke rumah sakit terdekat.
Tiga hari aku dirawat di sana, dia lah yang menjagaku, karena aku sebatang kara di kota itu. Keluargaku ada di kota sebelah, orang tuaku asli warga Banjarmasin dan menetap di sana. Sementara, aku kuliah di Palangkaraya sebagai anak kost dan bekerja di Pall Mall sebagai kasir.
Meskipun sebenarnya aku anak orang berada, tetapi aku lebih memilih hidup mandiri. Kuliah dari hasil pekerjaanku sendiri serta bantuan beasiswa yang kuterima dari Universitas Palangkaraya. Aku ingin jadi lelaki mandiri agar kelak bisa berdiri tanpa bergantung pada orang lain, terutama pada orang tuaku sendiri.
“Lize” nama wanita itu. Senyumnya menggetarkan jiwaku. Wajahnya cantik, secantik hatinya. Satu kata mulai terlahir dari hatiku yang mungkin terlalu cepat. Aku jatuh cinta padanya, saat pertama kali melihatnya. Gadis cantik itu bernama, Lize Kristiani. Keturunan Chines yang memilik wajah oriental suku Dayak Palangka.
Setelah kami saling berkenalan dan bertukar nomer hp aku sangat terkejut, ternyata dia seorang mahasiswi yang satu kampus denganku. Kondisiku yang belum sembuh betul karena luka yang cukup serius membentur tulang kakiku masih terasa pedih kurasakan, membuatku harus dituntun sampai ke dalam mobil. Lize, mengantarku sampai tempat aku kost ke jalan Krakatau.
Mulai saat itu, aku selalu merasa berhutang budi padanya.
Setiap hari, kami selalu pulang dan pergi ke kampus bersama. Pertemanan kami berakhir dengan berawalnya kisah cinta. Aku tak dapat menghindari perasaan ini, semakin aku menjauh darinya, semakin hatiku sakit.
Aku telah terpanah busur cintanya, walau sudah beberapa kali kupikirkan untuk menjauhinya, ternyata hanya membuat hatiku semakin terluka. Akhirnya, kuputuskan untuk kuteruskan saja cinta ini. Walau kutahu, aku telah salah memilih tambatan hati. Aku seorang Muslim, dan dia seorang Kristen.
Lize. Dia sangat mencintaiku, seperti itu pula cintaku padanya. Cinta ini lahir begitu saja tulus dari hati, sampai tak ada wanita lain yang bisa menggeser posisinya di hatiku. Sekian lama kebersamaanku dengannya, keluarganya pun turut merestui hubungan kami.
Mereka juga tahu, kami dari agama yang berbeda. Sudah hampir empat tahun cinta kami terjalin, sudah lebih sepuluh kali aku membujuknya memeluk agama Islam. Tapi, sudah sepuluh kali juga tiap aku memintanya untuk meninggalkan agamanya, dia malah memilih untuk memutuskan jalinan cinta yang kami bina. Semua itu membuat aku sangat terpukul.
Pernah satu kali dia memutuskan cinta, lalu meninggalkanku seminggu ke Jakarta, hatiku sungguh sangat terluka. “Padahal hanya seminggu” Aku, seperti orang gila yang terlihat normal. Tak ada satu orang pun yang bisa membuatku tersenyum.
Teman-temanku yang berusaha menghiburku dengan menghadirkan wanita lain di hadapanku juga tak ada gunanya. Baru kusadari cintaku pada Lize bukanlah cinta biasa.
Aku, kembali merasakan butir-butir kebahagiaan setelah ia ada di hadapanku, datang membawakan segelas lemon tea dan nasi rawon kesukaanku. Dia tahu, aku selalu telat makan. Lize menyuapiku tanpa bicara sepatah kata pun. Airmata mengalir di pipiku meruntuhkan derajat kelelakianku, tapi aku tak peduli itu. Aku pun memeluknya dengan sangat erat dan meminta maaf padanya.
“Rifky, aku mencintaimu, tapi aku tak pernah memaksamu untuk meninggalkan Tuhanmu” matanya berkaca-kaca memandangi wajahku dengan sendu.
“Maaf kan … aku … Ay … ( panggilan kesayanganku untuknya) aku janji tidak akan mengulangi hal bodoh ini lagi. Aku mencintaimu, kumohon jangan pernah tinggalkan aku lagi.”
Kuliah selesai, dan kami pun mengadakan Wisuda. Lize memintaku untuk segera melamarnya, aku pun tak menolak untuk hidup bersamanya. Aku pulang ke Banjarmasin dan berjanji akan kembali datang untuk melamarnya, setelah mendapatkan pekerjaan tetap.
Tetapi, masalah besar justru hadir setelah kepulanganku. Cintaku ditentang keras oleh orang tuaku. Ayah dan Ibuku ternyata telah menyiapkan jodoh untukku, yaitu putri sahabat Ayah seorang gadis muslimah dari Martapura, Kalimantan Selatan.
Wanita salehah yang juga cantik rupanya itu bernama, Ikhma. Aku tidak tertarik dengan wanita keturunan gadis Banjar-Arab itu. Bagaimana mungkin aku akan bahagia nantinya, jika aku harus menikah dan hidup bersama dengan wanita yang sama sekali tidak aku cintai?
Aku tak berdaya menolak paksaan kedua orang tuaku ,untuk segera menikah dengan Ikhma. Aku juga tak punya kekuatan untuk terlepas dari kuatnya cinta pada wanita pertama yang hadir di hidupku. Lize, dialah wanita yang menorehkan cinta teramat dalam di hatiku, yang menyesakan dadaku dengan menghadirkan kenangan manis yang selalu membuat aku rindu.
Wanita yang sering membuatku menangis karena takut kehilangan cintanya. Bagaimana mungkin aku bisa terlepas begitu saja untuk meninggalkannya? Sementara hatiku telah terkurung dalam penjara cintanya. Empat tahun bukanlah waktu yang singkat untuk menyayangi seseorang dalam kebersamaan, lantas melepaskannya begitu saja. Tentunya bukan hal yang mudah untuk kehilangan orang yang teramat dicintai.
****
Rasa berdosa kepada pengantin wanita di sebelahku, dan kepada wanita yang sedang menungguku terus memburu ke dalam hatiku. Kusebut nama yang salah dalam proses ijab kabul, yang akhirnya diulang berkali-kali membuat Ikhma nampak kecewa kepadaku.
Hatiku haru biru. Kesekian kalinya aku mendapat bimbingan, akhirnya kata sah keluar dari saksi kedua mempelai. Ikhma, dia resmi menjadi Istriku.
Setelah selesai shalat Isya berjamaah. Tak ada malam pertama setelah kami menikah, aku berdalih tak enak badan pada Ikhma. Padahal malam pertama, adalah malam terindah yang selalu dinantikan sepasang pengantin muda. Tapi tidak bagiku, pedih dan sedih mengumpat di dadaku. Ikma buatkan aku secangkir teh hangat dan membujukku untuk makan, aku menolak. Bahkan, aku tak meminum sedikit pun teh yang disiapkannya untukku hingga dingin.
Malam-malam selanjutnya kulakukan tugasku sebagai suami, meskipun saat melakukannya yang kubayangkan hanya wajah Lize. Wajah itu selalu membayang-bayangi di setiap hariku. Aku yang sebenarnya periang dan penyayang. kini berubah menjadi pribadi yang pendiam dan tertutup. Di rumah aku hanya bicara seperlunya, dan sekarang aku menjadi seorang lelaki yang mudah marah, walau aku tak pernah memukul wanita.
Sedikit saja Ikhma berbuat salah, aku selalu memakinya, memarahinya dengan meledak-ledak dan mengeluarkan kata-kata kasar. Kalaupun dia tidak salah, aku selalu berusaha mencari-cari kesalahannya.
Berulang kali kucoba ingin menceraikannya, selalu tak ada kekuatan untuk melakukannya. Tak ada dukungan dari siapapun, selain hatiku sendiri yang menentang. Pastinya orang tua dan keluargaku akan marah, karena mereka menganggap Ikhma wanita terbaik untuk hidupku dan masa depanku.
Meskipun Ikhma sering mendapatkan perlakuan yang tak enak dariku, ia selau sabar menghadapi tingkahku, walau ia tak mendapatkan hak nya sebagai seorang istri.
Setiap kali aku menghubungi Lize via telpon hatiku terasa sangat sakit, karena banyak kebohongan-kebohongan tercipta setelah aku menikah. Aku, yang sebenarnya telah bekerja di perusahaan besar di Banjarmasin dengan jabatan yang cukup tinggi, mengaku belum mendapatkan pekerjaan tetap. Sehingga, aku belum bisa menemui Lize ke Palangka untuk memenuhi janjiku yang tertunda, yaitu menikahinya.
Ikhma, sebenarnya ia wanita yang baik dan cantik, tapi hatiku tak pernah tergerak untuk mengakuinya sebagai istri. Sebelum berangkat ke kantor, Ikhma selalu menyiapkan segala keperluanku. Mulai dari menyiapkan makan, sampai memakaikan sepatu dan jasku. Terkadang, ia juga menyelesaikan tugas-tugas kantor yang belum sempat kuselesaikan.
Sebelum berangkat kerja ia selalu mencium tanganku dengan lembut, tapi aku tak pernah mengecup keningnya. Aku tahu, ia sangat mengharapkan kelembutan hatiku, merindukan sentuhan hangat juga merindukan kecupan kasih sayang dariku. Layaknya wanita lain yang mendapatkan kemesraan dari setiap pasangannya.