Sunday, November 20, 2011

Berkenalan dengan SUFI

Penyimpangan Sufi dan Tasawuf,

Jika anda pernah mempelajari tentang dunia Tasawuf, anda sama sekali takkan asing dengan istilah pembagian para ulama; yang mereka bagi menjadi beberapa tingkatan…
Pembagian itu adalah :
1. Ulama dengan tingkat Syari’at
2. Ulama dengan tingkat Thariqat
3. ulama dengan tingkat Hakikat
4. Ulama dengan tingkat Ma’rifat
Untuk lebih memperjelasnya, abah akan coba bernostalgia menjabarkan pembagian ini seperti saat dulu mengajar kepada para murid-murid Abah di padepokan “SAKI ILANDA” yang pernah mencuat namanya pada beberapa belas tahun silam ; tepatnya sekitar tahun 1995-an.
Yang berbeda adalah jika saat ini Abah membahasnya, maka berbarengan itu pula abah menjelaskan kekeliruannya…


Perkataan ke 1 : Ulama dengan tingkat Syari’at
Kaum sufi dalam hal memandang para ulama yang “menurut” mereka berkecimpung dalam perkara syari’at semata, semisal para ulama hadits, tafsir, fiqh dan yang lainnya adalah cenderung melecehkan. Dalam pandangan mereka adalah ulama “kulit”  yang hanya mempelajari dan memahami perkara-perkara dhahir saja.
Kekeliruan :
Pemahaman diatas keliru dinilai dari beberapa sisi :
1. Membagi ulama dalam beberapa tingkatan seperti diatas tidaklah dikenal berasal dari ucapan Rasulullah shollalloohu ‘alaihi wasallam, begitu pula dari para sahabat beliau dan para ulama / imam yang yang mendapatkan petunjuk semisal Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Hanafi, Imam Sufyan Ats-Tsauri, begitu pula Imam Hasan Al-Bashri yang banyak di nitsbatkan kepada dirinya seorang sufi.
2. Mempelajari ilmu-ilmu dien semacam Tafsir, Hadits, Bahasa, Nahwu, Tajwid, merupakan hal yang mempunyai keutamaan yang besar…
Bukankah Nabi telah berkata :
“Orang yang paling utama adalah yang belajar dan mengajarkan al-qur’an ?
“Barangsiapa yang memudahkan jalan manusia untuk menuntut ilmu, maka Allah akan mudahkan jalan baginya menuju syurga…”
“Barangsiapa yang mempelopori satu sunnah (kebaikan) kemudian para manusia mengikuti jalannya, maka dia akan mendapatkan pahala seperti apa yang dikerjakan oleh orang lain tersebut tanpa sedikitpun mengurangi pahala mereka”
“Jika anak Adam mati, maka terputus semua amalannya terkecuali : Doa anak yang sholeh, shodaqoh jariyah dan ilmu yang bermanfaat…”
Cukuplah kiranya beberapa dalil diatas menjelaskan kedudukan para ulama yang dilecehkan tersebut; sungguh walaupun si sufi semalam suntuk berdzikir, namun tak secuil pun pahalanya dari kegiatan para ulama tersebut saat mereka mengajarkan ilmu, Si sufi sibuk beribadah yang pahalanya untuk dirinya sendiri (itupun jika benar ibadahnya / sesuai sunnah, jika bid’ah maka celakalah dia) sedangkan para ulama itu beribadah dan bekerja untuk ummat, terfikirkah oleh anda, saat 1 orang saja diajarkan oleh ulama tersebut surat al-fatihah, lalu dia mengamalkannya seumur hidupnya membaca didalam shalatnya, lalu si orang tersebut mengajarkan lagi pada anaknya, lalu si anak mengajarkan pada cucunya dan seterusnya sampai hari kiamat… maka selama dan sepanjang itulah pahala mengajarkan ilmu tersebut mengalir padanya sekalipun dia telah meninggal dunia … subhanallah ….
Bacalah kitabul ilmi karya syaikh muhammad bin sholih al-utsaimin, juga kitab lainnya semisal fadlul ilmu wal ulama agar mata hatimu terbuka saat memahami kekeliruan pemahaman diatas …
Perkataan ke 2 : Ulama dengan tingkat Thariqot
Kaum sufi berkeyakinan bahwa thariqot adalah jalan lanjutan setelah tingkat syari’at, tanpa menjalani Thariqot syari’at tidak sempurna. Banyak juga orang sufi menyebutnya salik / suluk. Dalam pelaksanaannya, thariqot adalah suatu perjalanan spiritual yang menyandarkan kepada jalan-jalan yang “menurut” mereka adalah orang-orang yang kelak bisa dimintai pertanggung jawabannya / perlindungannya kelak di akhirat. Semisal thariqoh Qodiriyah, menitsbatkan mengikuti amalan syaikh Abdul Qodir Al-Jailani, Thariqoh Naqsyabandiyah menitsbatkan kepada Syekh Muhammad Bahaudin Syah An-Naqsyabandi, Rifaiyyah kepada Ahmad Rifa’i, Syadiliyah kepada Syadzili, Badawiyah kepada Ahmad Badawi, dan masih banyak kelompok – kelompok thariqot lainnya yang pada dasarnya adalah sama dengan apa yang Abah sebut diatas.
Dalam perjalanan suluk mereka, mereka dalam tahapan ini mengamalkan apa-apa yang di tuntunkan oleh para Imam mereka yang jika masih muda usianya (dibawah 40 tahun) disebut Mursyid, jika telah tua di sebut Syekh. Prioritas / tujuan dalam thariqot adalah memperbanyak dzikir diantaranya dengan membuka jalan-jalan halus yang sering disebut latifah / lathoif untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah.
Dalam prakteknya, mereka mengamalkan apa yang diberikan oleh para guru mereka yang diantaranya disebut dengan hizb. Kumpulan amalan itu dijadikan amalan baku oleh para muridnya, diamalkan dengan istilah mudawwamah sekian hari sekian hari dengan sekian hitungan berdasarkan dengan apa yang disusun oleh para guru mereka sendiri..
Dalam sisi ketaatan diberlakukanlah bai’at kepada gurunya, beberapa thoriqot malah ada yang mengharuskan mengulang syahadatnya dihadapan gurunya karena -menurut mereka- majhul / asing / tak diketahui siapa yang menyaksikannya dahulu saat menjadi muslim.. biasanya dilanjutkan dengan dimandikan air kembang oleh si guru dengan di iringi dzikir – dzikir tertentu.
Pada beberapa thariqot mempunyai peraturan yang sangat “berlebihan” yaitu hak hidup si murid hanya 1% -hanya untuk bernafas saja- sedangkan 99 % nya milik sang guru, dimana si murid ingin melaksanakan safar, dia harus lapor, jika tidak diyakini akan terjadi bala, jika ingin membuka usaha, harus meminta nasehat gurunya terlebih dahulu, begitu pula menikahkan anak, membangun rumah, dan lain sebagainya.
Sebetulnya masih banyak hal-hal yang menyimpang lainnya, secara ringkas akan Abah sebutkan yang termasuk fatalnya saja:
1. Meyakini sang guru mengetahui perkara ghaib, bahkan terhubung langsung dengan Nabi .
2. Perbuatan guru tak boleh ditanya, mengapa begini dan mengapa begitu? Karena perbuatan guru dianggap sama dengan perbuatan Nabi Khidir terhadap Musa.
3. Sang guru diyakini mempunyai ilmu Ladunni (ilmu yang didapat tanpa melalui tahapan belajar)
4. Yang mereka Klaim sebagai Pimpinan pusat thariqot semisal Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani, Ahmad Rifa’i, Muhammad Bahauddin Syah Naqsyabandi, Ahmad Badawi adalah wali yang ma’shum dan bisa menjadi penyambung do’a, bahkan dimintai pertolongan – sebagian pengikut thariqot ada yang berdo’a dengan doa :“Yaa Syaikh Abdul Qodir Jailani Aghitsni (Wahai Syaikh Abdul Qodir Tolong Aku…”– dan kelak merupakan penanggung jawab amaliahnya selama didunia serta bisa memberi syafa’at;
Jadi teringat kisah yang dulu diceritakan salah satu Guru Thariqot Abah, beliau – semoga Allah mengampuninya – bercerita bahwa Syaikh Ahmad Badawi pernah berdo’a dengan 3 doa, 2 dikabulkan Allah dan 1 ditolak, doanya sebagai berikut : Yaa Allah, masukkanlah para pengikutku kedalam syurga – ini dikabulkan oleh Allah – Yaa Allah jadikanlah para penziarah kuburku mendapatkn pahala seperti pahalanya orang Haji – Ini juga dikabulkan oleh Allah – berikutnya : Yaa Allah masukkanlah aku kedalam Neraka – yang ini ditolak oleh Allah ; Para murid lalu bertanya : Ya syaikh mengapa Allah menolak doamu untuk dimasukkannya kedalam Neraka ? Lalu Syaikh Menjawab : Allah khawatir kalau Neraka menjadi dingin saat aku masuk kedalamnya dan menjadi taman-taman yang indah …
Kekeliruan :
orang-orang ahli tasawuf umumnya dalam menjalankan agama dan melaksanakan ibadah tidak berpedoman kepada Al Quran dan As Sunnah, tapi yang mereka jadikan pedoman adalah bisikan jiwa dan perasaan mereka dan ajaran yang digariskan oleh pimpinan-pimpinan mereka, berupa thariqat-thariqat bid’ah, berbagai macam zikir dan wirid yang mereka ciptakan sendiri, dan tidak jarang mereka mengambil pedoman dari cerita-cerita (yang tidak jelas kebenarannya), mimpi-mimpi, bahkan hadits-hadits yang palsu untuk membenarkan ajaran dan keyakinan mereka. Inilah landasan ibadah dan keyakinan ajaran Tasawuf.
termasuk doktrin ajaran Tasawuf adalah keharusan berpegang teguh dan menetapi zikir-zikir dan wirid-wirid yang ditentukan dan diciptakan oleh guru-guru thariqat mereka, yang kemudian mereka menetapi dan mencukupkan diri dengan zikir-zikir tersebut, beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla  dengan selalu membacanya, bahkan tidak jarang mereka mengklaim bahwa membaca zikir-zikir tersebut lebih utama daripada membaca Al Quran, dan mereka menamakannya dengan zikirnya orang-orang khusus.
Adapun zikir-zikir yang tercantum dalam Al Quran dan As Sunnah mereka namakan dengan “zikirnya orang-orang umum”, maka kalimat (Laa Ilaha Illallah) menurut mereka adalah “zikirnya orang-orang umum”, adapun “zikirnya orang-orang khusus” adalah kata tunggal “Allah” dan “zikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus” adalah kata (Huwa/Dia).
sikap Ghuluw (berlebih-lebihan/ekstrem) orang-orang ahli Tasawuf terhadap orang-orang yang mereka anggap wali dan guru-guru thariqat mereka, yang bertentangan dengan aqidah Ahlusunnah wal Jamaah, karena di antara prinsip aqidah Ahlusunnah wal Jamaah adalah berwala (mencintai/berloyalitas) kepada orang-orang yang dicintai Allah ‘Azza wa Jalla  dan membenci musuh-musuh Allah‘Azza wa Jalla . Allah ‘Azza wa Jalla  berfirman:
Sesungguhnya wali (kekasih/penolongmu) hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).(QS. Al Maaidah: 55)
Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus. (QS. Al Mumtahanah: 1)
Wali Allah adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah Azza wa Jalla)
Dan merupakan kewajiban kita untuk mencintai, menghormati dan meneladani mereka. Dan perlu ditegaskan di sini bahwa derajat kewalian itu tidak hanya dikhususkan pada orang-orang tertentu, bahkan setiap orang yang beriman dan bertakwa dia adalah wali (kekasih) Allah, akan tetapi kedudukan sebagai wali Allah ‘Azza wa Jalla  tidaklah menjadikan seseorang terjaga dari kesalahan dan kekhilafan. Inilah makna wali dan kewalian, dan kewajiban kita terhadap mereka, menurut pemahaman Ahlusunnah wal Jamaah.
Adapun makna wali menurut orang-orang ahli Tasawuf sangat berbeda dengan pemahaman Ahlusunnah wal Jama’ah, karena orang-orang ahli Tasawuf memiliki beberapa kriteria dan pertimbangan tertentu (yang bertentangan dengan petunjuk Al Quran dan As Sunnah) dalam masalah ini, sehingga mereka menobatkan derajat kewalian hanya kepada orang-orang tertentu tanpa dilandasi dalil dari syariat yang menunjukkan kewalian orang-orang tersebut. Bahkan tidak jarang mereka menobatkan derajat kewalian kepada orang yang tidak dikenal keimanan dan ketakwaannya, bahkan kepada orang yang dikenal punya penyimpangan dalam keimanannya, seperti orang yang melakukan praktek perdukunan, sihir dan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla . Dan terkadang mereka menganggap bahwa kedudukan orang-orang yang mereka anggap sebagai “wali” melebihi kedudukan para Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagaimana ucapan salah seorang dari mereka:
Kedudukan para Nabi di alam Barzakh
Sedikit di atas kedudukan Rasul, dan di bawah kedudukan wali
Derajat Wali lebih tinggi dari derajat kenabian
karena ada asmaul husna Al-Waliy dan tak ada asmaul husna An-Nabiy
Orang-orang ahli Tasawuf juga berkata, “Sesungguhnya para wali mengambil (agama mereka langsung) dari sumber tempat Malaikat Jibril shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ?!
Dan mereka juga menganggap bahwa wali-wali mereka itu terjaga dari kesalahan?!
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “…Kamu akan dapati mayoritas orang-orang ahli Tasawuf menobatkan seseorang sebagai “wali” hanya dikarenakan orang tersebut mampu menyingkap tabir dalam suatu masalah, atau orang tersebut melakukan sesuatu yang di luar kemampuan manusia, seperti menunjuk kepada seseorang kemudian orang itu mati, terbang di udara menuju ke Mekkah atau tempat-tempat lainnya, terkadang berjalan di atas air, mengisi teko dari udara dengan air sampai penuh, ketika ada orang yang meminta pertolongan kepadanya dari tempat yang jauh atau setelah dia mati, maka orang itu melihatnya datang dan menunaikan kebutuhannya, memberitahu tempat barang-barang yang dicuri, memberitakan hal-hal yang gaib (tidak nampak), atau orang yang sakit dan yang semisalnya.
Padahal kemampuan melakukan hal-hal ini sama sekali tidaklah menunjukkan bahwa pelakunya adalah wali Allah ‘Azza wa Jalla . Bahkan orang-orang yang beriman dan bertakwa sepakat dan sependapat mengatakan bahwa jika ada orang yang mampu terbang di udara atau berjalan di atas air, maka kita tidak boleh terperdaya dengan penampilan tersebut sampai kita melihat apakah perbuatannya sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? apakah orang tersebut selalu menaati perintah beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi larangannya?
(Oleh karena itulah kita tidak pernah mendengar ada seorang muslim pun yang menganggap bahwa Superman dan Gatotkaca adalah wali-wali Allah, padahal mereka ini (katanya) bisa terbang di udara?! –pen) …karena hal-hal yang di luar kemampuan manusia ini bisa dilakukan oleh banyak orang kafir, musyrik, ahli kitab dan orang munafik, dan bisa dilakukan oleh para pelaku bid’ah dengan bantuan setan/jin, maka sama sekali tidak boleh dianggap bahwa setiap orang yang mampu melakukan hal-hal di atas adalah wali Allah.Majmu’ Al Fatawa 11/215).
Kemudian ternyata kesesatan orang-orang ahli tasawuf tidak sampai di sini saja, karena sikap mereka yang berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam mengagungkan orang-orang yang mereka anggap sebagai “wali”, sampai-sampai mereka menganggap “para wali” tersebut memiliki sifat-sifat ketuhanan, seperti menentukan kejadian-kejadian di alam semesta ini, mengetahui hal-hal yang gaib, memenuhi kebutuhan orang-orang yang meminta pertolongan kepada mereka dalam perkara-perkara yang tidak mampu dilakukan kecuali oleh Allah ‘Azza wa Jalla  dan sifat-sifat ketuhanan lainnya. Kemudian sikap berlebih-lebihan ini menjerumuskan mereka ke dalam perbuatan syirik dengan menjadikan “para wali” tersebut sebagai sesembahan selain Allah ‘Azza wa Jalla , dengan membangun kuburan “para wali” tersebut, meyakini adanya keberkahan pada tanah kuburan tersebut, melakukan berbagai macam kegiatan ibadah padanya, seperti thawaf dengan mengelilingi kuburan tersebut, bernazar dengan maksud mendekatkan diri kepada penghuni kubur dan perbuatan-perbuatan syirik lainnya. Maka dikenalah dikalangan mereka istilah Wali Kutub / Al-Aqtab; Wali Badal / Al-Badal, Wali Autad / Al-Autad, dll
termasuk doktrin ajaran Tasawuf yang sesat adalah mendekatkan diri (?) kepada Allah ‘Azza wa Jalla  dengan nyanyian, tarian, tabuhan rebana dan bertepuk tangan, yang semua ini mereka anggap sebagai amalan ibadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla . DR. Shabir Tha’imah berkata dalam kitabnya Ash Shufiyyah, Mu’taqadan wa Masakan, “Saat ini tarian sufi modern telah dipraktekkan pada mayoritas thariqat-thariqat sufiyyah dalam pesta-pesta perayaan ulang tahun beberapa tokoh mereka, dimana para pengikut thariqat berkumpul untuk mendengarkan nada-nada musik yang terkadang didendangkan oleh lebih dari dua ratus pemain musik pria dan wanita, sedangkan para murid senior dalam pesta ini duduk sambil mengisap berbagai jenis rokok, dan para tokoh senior beserta para pengikutnya membacakan beberapa kisah khurafat (bohong) yang terjadi pada sang tokoh yang telah meninggal dunia…”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “…Ketahuilah bahwa perbuatan orang-orang ahli tasawuf ini sama sekali tidak pernah dilakukan di awal tiga generasi yang utama di semua negeri islam: Hijaz, Syam, Yaman, Mesir, Magrib, Irak, dan Khurasan. Orang-orang yang shalih, taat beragama dan rajin beribadah pada masa itu tidak pernah berkumpul untuk mendengarkan siulan (yang berisi lantunan musik), tepukan tangan, tabuhan rebana dan ketukan tongkat (seperti yang dilakukan oleh orang-orang ahli tasawuf), perbuatan ini adalah perkara yang diada-adakan (bid’ah) yang muncul di penghujung abad kedua, dan ketika para Imam Ahlusunnah melihat perbuatan ini mereka langsung mengingkarinya, (sampai-sampai) Imam Asy Syafi’i berkata: “Aku tinggalkan Baghdad, dan di sana ada suatu perbuatan yang diada-adakan oleh orang-orang zindiq (munafik tulen) yang mereka namakan At Taghbir, yang mereka jadikan senjata untuk menjauhkan kaum muslimin dari Al Quran.”
Dan Imam Yazid bin Harun berkata:
Orang yang mendendangkan At Taghbir tidak lain adalah orang fasik, kapan munculnya perbuatan ini?
Imam Ahmad ketika ditanya (tentang perbuatan ini), beliau menjawab,
Aku tidak menyukainya (karena) perbuatan ini adalah bid’ah,
Maka beliau ditanya lagi: Apakah anda mau duduk bersama orang-orang yang melakukan perbuatan ini?
Beliau menjawab, :
Demikian pula Imam-Imam besar lainnya mereka semua tidak menyukai perbuatan ini. Dan para Syaikh (ulama) yang Shalih tidak ada yang mau menghadiri (menyaksikan) perbuatan ini, seperti: Ibrahim bin Adham, Fudhail bin ‘Iyadh, Ma’ruf Al Karkhi, Abu Sulaiman Ad Darani, Ahmad bin Abil Hawari, As Sariy As Saqti dan syaikh-syaikh lainnya.(Majmu’ Al Fatawa 11/569).
Maka orang-orang ahli Tasawuf yang mendekatkan diri (?) kepada Allah ‘Azza wa Jalla  dengan cara-cara seperti ini, adalah tepat jika dikatakan bahwa mereka itu seperti orang-orang (penghuni Neraka) yang dicela oleh Allah ‘Azza wa Jalla  dalam firman-Nya:
(yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka. Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini, dan (sebagaimana) mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami. (Al-’Araaf : 51)
Keterangan :
At Taghbir adalah semacam Qasidah yang dilantunkan dan berisi ajakan untuk zuhud dalam urusan dunia, lihat kitab Igatsatul Lahfan tulisan Imam Ibnul Qayyim, maka silakan pembaca bandingkan At Taghbir ini dengan apa yang di zaman sekarang ini disebut sebagai Nasyid Islami(?), apakah ada perbedaan di antara keduanya? Jawabnya: keduanya serupa tapi tak beda! Kalau demikian berarti hukum nasyid islami adalah….
Perkataan Mereka :
3. ulama dengan tingkat Hakikat
4. Ulama dengan tingkat Ma’rifat
Dalam pemahaman para sufi, wabil khusus Indonesia, pemahaman hakikat ini adalah keyakinan seorang sufi merasakan bahwa dirinya dan Allah bersatu / Ittihal / Hulul ; Dalilnya yang sering dipakai adlah tentang Jika seorang hamba sudah dekat dengan Allah, maka gerak gerik dan perbuatannya adalah perbuatan Allah, jika dia melempar, jika dia memanah, dll … Sehingga efek pemahaman ini sangat terasa jika anda mempelajari bagaimana ajaran para tokoh terdahulu semisal Al-Hallaj yang mati disembelih oleh khalifah di jembatan baghdad dan telah dikafirkan oleh mayoritas para ulama. Jika di Indonesia masyhur dengan Siti Jenar, Hamzah Fansuri. Yang mana mereka berkata Anal Haq.. (Aku adalah Allah)…
Sehingga terjadilah beberapa efek dari pemahaman tersebut, banyak kekacauan didalam pengikutnya (sempat terjadi dizaman Abah dulu) ; seseorang menghalalkan mencuri karena merasa maqom hakikat karena merasa semua yang ada dialam ini hakikatnya adalah milik Allah, demikian jawaban dia saat dinasehati, namun ketika ditanya “Apakah istrimu hakikatnya milik Allah?” Dia diam tak bisa menjawab, karena mengerti apa yang selanjutnya akan dikatakan jika dia menjawab ya … ngenes…
Dan dalam maqom ini, orang yang mengaku ma’rifat akan mengklaim berjumpa dengan Allah, baik secara mimpi ataupun secara jaga, baik diluar dzikir ataupun didalam dzikir … sehingga pada maqom ini seorang penganut aliran ma’rifat merasa sudah terlepas hijab antara dirinya dengan Allah..
Kekeliruan :
juga termasuk doktrin ajaran tasawuf yang sesat adalah apa yang mereka namakan sebagai suatu keadaan/tingkatan yang jika seseorang telah mencapainya maka dia akan terlepas dari kewajiban melaksanakan syariat Islam. Keyakinan ini muncul sebagai hasil dari perkembangan ajaran tasawuf, karena asal mula ajaran tasawuf –sebagaimana yang diterangkan oleh Ibnul Jauzi- adalah melatih jiwa dan menundukkan watak dengan berupaya memalingankannya dari akhlak-akhlak yang jelek dan membawanya pada akhlak-akhlak yang baik, seperti sifat zuhud, tenang, sabar, ikhlas dan jujur.
Kemudian Ibnul Jauzi mengatakan: “Inilah asal mula ajaran tasawuf yang dipraktekkan oleh pendahulu-pendahulu mereka, kemudian Iblis mulai memalingkan dan menyesatkan mereka dari generasi ke generasi berikutnya dengan berbagai macam syubhat (kerancuan) dan talbis (pencampuradukan), kemudian penyimpangan ini terus bertambah sehingga Iblis berhasil dengan baik menguasai generasi belakangan dari orang-orang ahli tasawuf. Pada mulanya, dasar upaya penyesatan yang diterapkan oleh Iblis kepada mereka adalah memalingkan mereka dari (mempelajari) ilmu agama dan mengesankan kepada mereka bahwa tujuan utama adalah (semata-semata) beramal (tanpa perlu ilmu), dan ketika Iblis telah berhasil memadamkan cahaya ilmu dalam diri mereka, mulailah mereka berjalan tanpa petunjuk dalam kegelapan/kesesatan, maka di antara mereka ada yang dikesankan padanya bahwa tujuan utama (ibadah) adalah meninggalkan urusan dunia secara keseluruhan, sampai-sampai mereka meninggalkan apa-apa yang dibutuhkan oleh tubuh mereka, bahkan mereka menyerupakan harta dengan kalajengking, dan mereka lupa bahwa Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan harta bagi manusia untuk kemaslahatan mereka, kemudian mereka bersikap berlebih-lebihan dalam menyiksa diri-diri mereka, sampai-sampai ada di antara mereka yang tidak pernah tidur (sama sekali).
Meskipun niat mereka baik (sewaktu melakukan perbuatan ini), akan tetapi (perbuatan yang mereka lakukan) menyimpang dari jalan yang benar. Di antara mereka juga ada yang beramal berdasarkan hadits-hadits yang palsu tanpa disadarinya karena dangkalnya ilmu agama. Kemudian datanglah generasi-generasi setelah mereka yang mulai membicarakan (keutamaan) lapar, miskin dan bisikan-bisikan jiwa, bahkan mereka menulis kitab-kitab (khusus) tentang masalah ini, seperti (tokoh sufi yang bernama) Al Harits Al Muhasibi.
Lalu datang generasi selanjutnya yang mulai merangkum dan menghimpun mazhab/ajaran tasawuf dan mengkhususkannya dengan sifat-sifat khusus, seperti Ma’rifah (mengenal Allah dengan sebenarnya)(??!), Sama’ (mendengarkan nyanyian dan lantunan musik), Wajd (bisikan jiwa), Raqsh (tari-tarian) dan Tashfiq (tepukan tangan), kemudian ajaran tasawuf terus berkembang dan para guru thariqat mulai membuat aturan-aturan khusus bagi mereka dan membicarakan (membangga-banggakan) kedudukan mereka (orang-orang ahli tasawuf), sehingga (semakin lama mereka semakin jauh dari petunjuk) para ulama Ahlusunnah, dan mereka mulai memandang tinggi ajaran dan ilmu mereka (ilmu tasawuf), sampai-sampai mereka namakan ilmu tersebut dengan ilmu batin dan mereka menganggap ilmu syari’at sebagai ilmu lahir??!
Dan di antara mereka karena rasa lapar yang sangat hingga membawa mereka kepada khayalan-khayalan yang rusak dan mengaku-ngaku jatuh cinta dan kasmaran kepada Al Haq (Allah ‘Azza wa Jalla ), (padahal yang) mereka lihat dalam khayalan mereka adalah seseorang yang rupanya menawan yang kemudian membuat mereka jatuh cinta berat (lalu mereka mengaku-ngaku bahwa yang mereka cintai itu adalah Allah ‘Azza wa Jalla ). Maka mereka ini (terombang-ambing) di antara kekufuran dan bid’ah, kemudian semakin banyak jalan-jalan sesat yang mereka ikuti sehingga menyebabkan rusaknya akidah mereka, maka di antara mereka ada yang menganut keyakinan Al Hulul, juga ada yang menganut keyakinan Wihdatul Wujud, dan terus-menerus Iblis menyesatkan mereka dengan berbagai bentuk bid’ah (penyimpangan) sehingga mereka menjadikan untuk diri-diri mereka sendiri tata cara beribadah yang khusus (yang berbeda dengan tata cara beribadah yang Allah ‘Azza wa Jalla syari’atkan dalam agama islam).” (Kitab Talbis Iblis, tulisan Ibnul Jauzi hal. 157-158).
Dan di antara mereka ada yang berargumentasi (untuk membenarkan keyakinan tersebut) dengan firman Allah ‘Azza wa Jalla :
“Sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu sesuatu yang diyakini (kematian)” (QS. Al Hijr: 99)
Mereka berkata makna ayat di atas adalah, “Sembahlah Rabbmu sampai kamu (mencapai tingkatan) ilmu dan ma’rifat, dan jika kamu telah mencapainya maka gugurlah (kewajiban melaksanakan) ibadah atas dirimu…” (pada hakikatnya) ayat ini justru menyanggah (keyakinan) mereka dan tidak membenarkannya. Hasan Al Bashri berkata: “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan bagi amalan orang-orang yang beriman batas akhir kecuali kematian, kemudian Hasan Al Bashri membaca ayat tersebut di atas. Dan makna “Al Yaqin” dalam ayat tersebut adalah “Al Maut” (kematian) dan peristwa-peristiwa sesudahnya, (dan makna ini) berdasarkan kesepakatan semua ulama Islam, seperti yang juga Allah ‘Azza wa Jalla sebutkan dalam Firman-Nya:
“Apa yang menyebabkan kamu (wahai orang-orang kafir) masuk ke dalam Saqar (neraka)?, mereka menjawab: Kami dahulu (di dunia) tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan kami ikut membicarakan yang bathil bersama orang-orang yang membicarakannya, dan kami mendustakan hari pembalasan, hingga datanglah pada kami sesuatu yang diyakini (kematian).” (QS. Al Muddatstsir: 42-47)
Maka (dalam ayat ini) mereka (orang-orang kafir) menyebutkan (bahwa telah sampai kepada mereka Al Yaqin/kematian) padahal mereka termasuk penghuni neraka, dan mereka ceritakan perbuatan-perbuatan mereka (yang menyebabkan mereka masuk ke dalam neraka): meninggalkan shalat dan zakat, mendustakan hari kemudian, membicarakan yang batil bersama orang-orang yang membicarakannya, sampai datang pada mereka Al Yaqin (kematian)…yang maksudnya adalah: datang kepada mereka sesuatu yang telah dijanjikan, yaitu Al Yaqin (kematian).” (Majmu’ Al Fatawa 401-402 dan 417-418).
Maka ayat tersebut di atas jelas sekali menunjukkan kewajiban setiap orang untuk selalu beribadah sejak dia mencapai usia dewasa dan berakal sampai ketika kematian datang menjemputnya, dan tidak ada sama sekali dalam ajaran islam apa yang dinamakan tingkatan/keadaan yang jika seseorang telah mencapainya maka gugurlah kewajiban beribadah atasnya, sebagaimana yang disangka oleh orang-orang ahli tasawuf.

0 komentar:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...