Mengambil pelajaran dari sejarah suatu bangsa dan kisah yang telah berlalu adalah perintah Allah ta’ala kepada kaum mukminin,
قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِكُمْ سُنَنٌ فَسِيرُواْ فِي الأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذَّبِينَ
“Telah lewat sebelum kalian ujian-ujian yang menimpa pengikut para nabi, maka berjalanlah di muka bumi lalu lihatlah bagaimana akibat yang jelek bagi orang-orang yang mendustakan.” [Ali Imron: 137]
Sebetulnya, sejarah yang telah berlalu telah memberikan pelajaran besar bagi umat Islam, bahwa pemberontakan terhadap pemerintah muslim yang zalim hanyalah mendatangkan kemudaratan yang lebih besar dibanding manfaatnya. Namun sayang kelompok bid’ah Ikhwanul Muslimin belum juga mau mengambil pelajaran, mereka korbankan nyawa-nyawa kaum muslimin hanya demi meraih kekuasaan yang terampas dari tangan mereka.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
أن الله تعالى بعث محمدا صلى الله عليه وسلم بصلاح العباد في المعاش والمعاد وأنه أمر بالصلاح ونهى عن الفساد فإذا كان الفعل فيه صلاح وفساد رجحوا الراجح منهما فإذا كان صلاحه أكثر من فساده رجحوا فعله وإن كان فساده أكثر من صلاحه رجحوا تركه فإن الله تعالى بعث رسوله صلى الله عليه وسلم بتحصيل المصالح وتكميلها وتعطيل المفاسد وتقليلها فإذا تولى خليفة من الخلفاء كيزيد وعبد الملك والمنصور وغيرهم فإما أن يقال يجب منعه من الولاية وقتاله حتى يولى غيره كما يفعله من يرى السيف فهذا رأى فاسد فإن مفسدة هذا أعظم من مصلحته وقل من خرج على إمام ذي سلطان إلا كان ما تولد على فعله من الشر أعظم مما تولد من الخير كالذين خرجوا على يزيد بالمدينة وكابن الأشعث الذي خرج على عبد الملك بالعراق وكابن المهلب الذي خرج على ابنه بخراسان وكأبي مسلم صاحب الدعوة الذي خرد عليهم بخراسان أيضا وكالذين خرجوا على المنصور بالمدينة والبصرة وأمثال هؤلاء وغاية هؤلاء إما أن يغلبوا وإما أن يغلبوا ثم يزول ملكهم فلا يكون لهم عاقبة فإن عبد الله بن علي وأبا مسلم هما اللذان قتلا خلقا كثيرا وكلاهما قتله أبو جعفر المنصور وأما أهل الحرة وابن الأشعث وابن المهلب وغيرهم فهزموا وهزم أصحابهم فلا أقاموا دينا ولا أبقوا دنيا والله تعالى لا يأمر بأمر لا يحصل به صلاح الدين ولا صلاح الدنيا وإن كان فاعل ذلك من أولياء الله المتقين ومن أهل الجنة
“Bahwa Allah ta’ala mengutus Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam demi kemaslahatan para hamba di kehidupan dunia dan akhirat, dan bahwa beliau memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari kerusakan, maka apabila dalam satu perbuatan terdapat kebaikan dan kerusakan, hendaklah kaum muslimin mengambil mana yang paling kuat dari keduanya; jika kebaikannya lebih banyak dari kerusakannya, hendaklah mereka melakukannya. Namun apabila kerusakannya lebih banyak dari kebaikannya, hendaklah mereka meninggalkannya, karena sesungguhnya Allah ta’ala mengutus Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam untuk menghasilkan kemaslahatan dan menyempurnakannya, serta menghilangkan kemudaratan dan menguranginya.
Maka, jika yang berkuasa dari kalangan khalifah (yang tidak lebih pantas) seperti Yazid, Abdul Malik, Al-Manshur dan selain mereka; bisa jadi dikatakan bahwa wajib mencopotnya dan memeranginya sampai ia lengser dan digantikan oleh yang lainnya, sebagaimana yang dilakukan oleh mereka yang berpendapat bolehnya pemberontakan, maka ini adalah pendapat yang rusak, karena sungguh kerusakannya lebih besar dari kemaslahatannya.
Dan pada umumnya, tidaklah mereka memberontak kepada penguasa kecuali timbul kejelekan yang lebih besar dibanding kebaikan, seperti mereka yang memberontak kepada Yazid di Madinah, pemberontakan Ibnul ‘Asy’ats terhadap Abdul Malik di Iraq, pemberontakan Ibnul Mulhab terhadap anaknya Abdul Malik di Khurasan, pemberontakan Abu Muslim yang menyerukan pemberontakan terhadap penguasa di Khurasan, juga pemberontakan terhadap Al-Manshur di Madinah dan Bashroh dan yang semisalnya, pada akhirnya dua kemungkinan, mereka dikalahkan atau mereka menang lalu berakhir kekuasaan penguasa sebelumnya, namun yang terjadi adalah tidak ada hasil yang baik bagi para pemberontak tersebut.
Abdullah bin Ali dan Abu Muslim yang melakukan pemberontakan dengan membunuh banyak orang akhirnya keduanya dibunuh oleh Abu Ja’far Al-Manshur, adapun penduduk Al-Harah, Ibnul Asy’ats, Ibnul Mulhab dan selain mereka akhirnya menderita kekalahan, demikian pula pasukan-pasukannya, sehingga mereka tidaklah menegakkan agama dan tidak pula menyisakan dunia, padahal Allah ta’ala tidak memerintahkan suatu perkara yang tidak menghasilkan kebaikan bagi agama ataupun dunia, meskipun yang memberontak itu dari kalangan wali Allah yang bertakwa dan termasuk penduduk surga (perbuatan mereka tidak dapat dibenarkan).” [Minhaajus Sunnah, 4/313-315, Asy-Syamilah]
Apa yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam di atas tidaklah terlalu jauh dengan apa yang terjadi di Mesir dan negeri-negeri lainnya hari ini, Ikhwanul Muslimin di Mesir sebelumnya telah menggerakkan pemberontakan terhadap Husni Mubarak dalam bentuk demonstrasi dan celaan-celaan terhadap penguasa di media massa, ketika pada akhirnya mereka berkuasa, pihak lain pun melakukan pemberontakan terhadap mereka. Setelah kekuasaan mereka tumbang, mereka kembali melakukan pemberontakan, akhirnya nyawa-nyawa kaum muslimin yang menjadi korban.
Belum cukupkah ini menjadi pelajaran berharga bagi kaum muslimin, khususnya kepada mereka yang masih bersimpati dengan kelompok bid’ah Ikhwanul Muslimin, mengidolakan tokoh-tokoh IM yang jelas-jelas memiliki ideologi pemberontakan, bahkan menginstruksikan untuk mencoblos partai mereka, seperti kelompok Wahdah Islamiyah yang berpusat di Makassar, demikian pula tokoh-tokoh yang terpengaruh ideologi pemberontakan Khawarij IM seperti Abdur Rahman Abdul Khaliq, Muhammad Surur, Salman Al-’Audah, Safar Al-Hawali, ‘Aidh Al-Qorni, Muhammad Al-Arifi, berhati-hatilah dari kesesatan mereka,
فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأَبْصَار
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.” [Al-Hasyr: 2]
Kebodohan terhadap manhaj yang haq, metode beragama yang benar, yang dicontohkan oleh generasi Salaf, yaitu generasi Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan sahabat, inilah diantara sebab utama terjadinya berbagai macam kesesatan, dan tidak jarang mengakibatkan kekacauan suatu negeri dan tumpahnya darah kaum muslimin.
Inilah yang terjadi pada kelompok-kelompok sesat yang memiliki ideologi Khawarij, seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Al-Qo’idah dan lain-lain. Tatkala berhadapan dengan para penguasa yang zalim, mereka lebih mengedepankan emosi tanpa ilmu dan berjalan tanpa bimbingan ahli ilmu, akhirnya mengantarkan mereka kepada kerusakan-kerusakan.
HARAMNYA PEMBERONTAKAN TERHADAP PEMERINTAH MUSLIM YANG ZALIM BERDASARKAN KESEPAKATAN (IJMA’) ULAMA
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِه شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ فَمِيتَةٌ جَاهِلِيَّةٌ
“Barangsiapa yang melihat suatu (kemungkaran) yang ia benci pada pemimpinnya, maka hendaklah ia bersabar, karena sesungguhnya barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah (pemerintah) kemudian ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma]
Beliau shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَة وَأُمُورًا تُنْكِرُونَهَا قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ أَدُّوا إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ وَسَلُوا اللَّهَ حَقَّكُمْ
“Sesungguhnya kalian akan melihat (pada pemimpin kalian) kecurangan dan hal-hal yang kalian ingkari (kemungkaran)”. Mereka bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Tunaikan hak mereka (pemimpin) dan mintalah kepada Allah hak kalian.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu]
Beliau shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,
يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّة لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
“Akan ada sepeninggalku para penguasa yang tidak meneladani petunjukku dan tidak mengamalkan sunnahku, dan akan muncul diantara mereka (para penguasa) orang-orang yang hati-hati mereka adalah hati-hati setan dalam jasad manusia.” Aku (Hudzaifah) berkata, “Bagaimana aku harus bersikap jika aku mengalami hal seperti ini?” Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Engkau tetap dengar dan taat kepada pemimpin itu, meskipun punggungmu dipukul dan hartamu diambil, maka dengar dan taatlah.” [HR. Muslim dari Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu’anhu]
Ubadah bin Shamit radhiyallahu’anhu berkata,
دَعَانَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَبَايَعْنَاه فَكَانَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِى مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ قَالَ إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyeru kami, lalu kami pun membai’at beliau, maka diantara yang beliau ambil perjanjian atas kami adalah, kami membai’at beliau untuk senantiasa mendengar dan taat kepada pemimpin, baik pada saat kami senang maupun susah; sempit maupun lapang, dan dalam keadaan hak-hak kami tidak dipenuhi, serta agar kami tidak berusaha merebut kekuasaan dari pemiliknya. Beliau bersabda: Kecuali jika kalian telah melihat kekafiran yang nyata, sedang kalian memiliki dalil dari Allah tentang kekafirannya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Wail bin Hujr radhiyallahu’anhu berkata,
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَرَجُلٌ سَأَلَهُ فَقَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ عَلَيْنَا أُمَرَاءُ يَمْنَعُونَا حَقَّنَا وَيَسْأَلُونَا حَقَّهُم فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ
“Aku mendengar ketika seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, “Apa pendapatmu jika para pemimpin kami tidak memenuhi hak kami (sebagai rakyat), namun tetap meminta hak mereka (sebagai pemimpin)?” Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Dengar dan taati (pemimpin kalian), karena sesungguhnya dosa mereka adalah tanggungan mereka dan dosa kalian adalah tanggungan kalian.” [HR. Muslim dan At-Tirmidzi, Ash-Shahihah: 3176]
Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah berkata,
ولا نرى الخروج على أئمتنا وولاة أُمورنا ، وإن جاروا ، ولا ندعوا عليهم ، ولا ننزع يداً من طاعتهم ونرى طاعتهم من طاعة الله عز وجل فريضةً ، ما لم يأمروا بمعصيةٍ ، وندعوا لهم بالصلاح والمعافاة
“Kami tidak memandang bolehnya memberontak kepada para pemimpin dan pemerintah kami, meskipun mereka berbuat zhalim. Kami tidak mendoakan kejelekan bagi mereka. Kami tidak melepaskan diri dari ketaatan kepada mereka dan kami memandang ketaatan kepada mereka adalah ketaatan kepada Allah sebagai suatu kewajiban, selama yang mereka perintahkan itu bukan kemaksiatan (kepada Allah). Kami doakan mereka dengan kebaikan dan keselamatan.” [Matan Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah]
Ulama besar Syafi’iyah, An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
وأجمع أهل السنة أنه لا ينعزل السلطان بالفسق وأما الوجه المذكور في كتب الفقه لبعض أصحابنا أنه ينعزل وحكى عن المعتزلة أيضا فغلط من قائله مخالف للإجماع قال العلماء وسبب عدم انعزاله وتحريم الخروج عليه ما يترتب على ذلك من الفتن واراقة الدماء وفساد ذات البين فتكون المفسدة في عزله أكثر منها في بقائه قال القاضي عياض أجمع العلماء على أن الإمامة لا تنعقد لكافر وعلى أنه لو طرأ عليه الكفر انعزل
“Dan telah sepakat Ahlus Sunnah bahwa tidak boleh seorang penguasa dilengserkan karena kefasikan (dosa besar) yang ia lakukan. Adapun pendapat yang disebutkan pada kitab-kitab fiqh yang ditulis oleh sebagian sahabat kami (Syafi’iyah) bahwa penguasa yang fasik harus dilengserkan dan pendapat ini juga dinukil dari kaum Mu’tazilah, maka telah salah besar, orang yang berpendapat demikian menyelisihi ijma’.
Dan ulama menjelaskan, sebab tidak bolehnya penguasa zalim dilengserkan dan haramnya memberontak kepadanya karena akibat dari hal itu akan muncul berbagai macam fitnah (kekacauan), ditumpahkannya darah dan rusaknya hubungan, sehingga kerusakan dalam pencopotan penguasa zalim lebih banyak disbanding tetapnya ia sebagai penguasa. Al-Qodhi ‘Iyadh rahimahullah berkata: Ulama sepakat bahwa kepemimpinan tidak sah bagi orang kafir, dan jika seorang pemimpin menjadi kafir harus dicopot.” [Syarh Muslim, 12/229]
AI-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
وقد أجمع الفقهاء على وجوب طاعة السلطان المتغلب والجهاد معه وأن طاعته خير من الخروج عليه لما في ذلك من حقن الدماء وتسكين الدهماء
“Dan telah sepakat fuqoha atas wajibnya taat kepada penguasa yang sedang berkuasa dan berjihad bersamanya, dan (mereka juga sepakat) bahwa taat kepadanya lebih baik disbanding memberontak, sebab dengan itu darah terpelihara dan membuat nyaman kebanyakan orang.” [Fathul Bari, 13/7]
HARAMNYA PEMBERONTAKAN MESKI TERHADAP PEMERINTAH YANG MERAIH KEKUASAAN DENGAN CARA YANG SALAH
Al-Imam Ali bin Madini rahimahullah berkata,
ومن خرج علي امام من ائمة المسلمين وقد اجتمع عليه الناس فأقروا له بالخلافة بأي وجه كانت برضا كانت أو بغلبة فهو شاق هذا الخارج عليه العصا وخالف الآثار عن رسول الله صلى الله عليه و سلم فإن مات الخارج عليه مات ميتة جاهلية
“Brangsiapa yang memberontak kepada salah seorang pemimpin kaum muslimin, padahal manusia telah berkumpul di bawah kepemimpinannya, mereka pun mengakui kepemimpinannya, dengan cara apa saja ia mendapati kepemimpinan itu, apakah dengan kerelaan atau dengan paksa, maka orang yang memberontak itu telah merusak persatuan kaum muslimin dan menyelisihi hadits-hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, jika pemberontak ini mati maka matinya jahiliyah.” [Syarhul I’tiqod Ahlis Sunnah wal Jama’ah lil Laalikaai, 1/168]
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata,
“Aku memandang wajibnya mendengar dan mentaati para pemimpin kaum muslimin, apakah itu pemimpin yang baik maupun jahat, selama mereka perintahkan itu bukan kemaksiatan. Dan siapa yang memimpin khilafah dan manusia bersatu dalam kepemimpinannya, mereka ridho kepadanya, meskipun dia mengalahkan mereka dengan pedang hingga menjadi pemimpin, maka wajib taat kepadanya dan haram memisahkan diri (memberontak) kepadanya.” [Syarhu Risalah Ila Ahlil Qosim, Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal. 157]
Seorang muslim tentunya sedih dengan tumpahnya darah kaum muslimin di negeri manapun mereka berada, khususnya di Mesir pada hari-hari ini. Oleh karena itu, perlu adanya peringatan terhadap umat Islam agar jangan sampai musibah ini terjadi di negeri-negeri kaum muslimin yang lainnya.
Telah kami jelaskan sebelumnya tentang peringatan para ulama, bahwa penyebab musibah ini karena ulah sekelompok orang yang memiliki nafsu memberontak terhadap penguasa yang zalim. Maka sungguh sangat aneh, jika upaya menjelaskan kepada umat akan sesatnya sepak terjang Ikhwanul Muslimin dengan ideologi pemberontakan Khawarijnya, kemudian dianggap sebagai bentuk tidak simpati terhadap kaum muslimin yang menjadi korban kekerasan atau bahkan dituduh mendukung pemerintah yang zalim dan sekuler.
Dan Islam adalah agama yang sempurna, jika melarang sesuatu maka pasti ada solusinya yang lebih baik, dan jika seseorang kembali kepada metode beragama yang benar (manhaj Salaf), insya Allah ta’ala ia akan temukan semua solusi terhadap berbagai masalah yang dihadapi umat manusia, yaitu dengan bimbingan ilmu dan merujuk kepada ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
CARA MENGHADAPI PEMERINTAH YANG ZALIM
Sabar dan doa, inilah yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika berhadapan dengan penguasa yang zalim. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ فَمِيتَةٌ جَاهِلِيَّةٌ
“Barangsiapa yang melihat suatu (kemungkaran) yang ia benci pada pemimpinnya, maka hendaklah ia bersabar, karena sesungguhnya barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah (pemerintah) kemudian ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma]
Beliau shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً وَأُمُورًا تُنْكِرُونَهَا قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ أَدُّوا إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ وَسَلُوا اللَّهَ حَقَّكُمْ
“Sesungguhnya kalian akan melihat (pada pemimpin kalian) kecurangan dan hal-hal yang kalian ingkari (kemungkaran)”. Mereka bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Tunaikan hak mereka (pemimpin) dan mintalah kepada Allah hak kalian (berdoa).” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dariAbdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu]
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,
“Demi Allah, andaikan manusia bersabar dengan musibah berupa kezaliman penguasa, maka tidak lama Allah ta’ala akan menghilangkan kezaliman tersebut dari mereka, namun apabila mereka mengangkat senjata melawan penguasa yang zalim, maka mereka akan dibiarkan oleh Allah. Dan demi Allah, hal itu tidak akan mendatangkan kebaikan kapan pun. Kemudian beliau membaca firman Allah ta’ala,
وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ الْحُسْنَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ بِمَا صَبَرُوا وَدَمَّرْنَا مَا كَانَ يَصْنَعُ فِرْعَوْنُ وَقَوْمُهُ وَمَا كَانُوا يَعْرِشُونَ
“Maka sempurnalah kalimat Rabbmu yang maha baik kepada Bani Israil disebabkan kesabaran mereka dan Kami musnahkan apa yang diperbuat oleh Fir’aun dan kaumnya dan apa yang mereka bina.” (Al-A’rof: 137).” [Lihat Madarikun Nazhor, hal. 6]
Al-Hasan Al-Basri rahimahullah juga berkata,
إن الحجاج عذاب الله فلا تدفعوا عذاب الله بأيديكم ولكن عليكم بالاستكانة والتضرع فإن الله تعالى يقول ولقد أخذناهم بالعذاب فما استكانوا لربهم وما يتضرعون
“Sesungguhnya Al-Hajjaj (penguaza zalim) adalah azab Allah, maka janganlah kalian menolak azab Allah dengan tangan-tangan kalian, akan tetapi hendaklah kalian merendahkan diri karena takut kepada-Nya dan tunduk berdoa, karena Allah ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ أَخَذْنَاهُمْ بِالْعَذَابِ فَمَا اسْتَكَانُوا لِرَبِّهِمْ وَمَا يَتَضَرَّعُونَ
“Dan sungguh Kami telah timpakan kepada mereka azab, namun mereka tidak takut kepada Rabb mereka dan tidak pula berdoa.” (Al-Mu’minun: 76).” [Lihat Minhaajus Sunnah, 4/315]
Thalq bin Habib rahimahullah berkata,
اتقوا الفتنة بالتقوى فقيل له أجمل لنا التقوى فقال أن تعمل بطاعة الله على نور من الله ترجو رحمة الله وأن تترك معصية الله على نور من الله تخاف عذاب الله رواه أحمد وابن أبي الدنيا
“Hadapilah fitnah (kekacauan) dengan ketakwaan.” Maka dikatakan kepada beliau: “Jelaskan kepada kami secara global apa itu taqwa?” Beliau berkata: “Takwa adalah engkau mengamalkan ketaatan kepada Allah berdasarkan cahaya (ilmu) dari Allah dalam keadaan engkau mengharap rahmat Allah, dan engkau tinggalkan kemaksiatan kepada Allah berdasarkan cahaya (ilmu) dari Allah dalam keadaan engkau takut azab Allah.” (Diriwayatkan Imam Ahmad dan Ibnu Abid Dunya).” [Lihat Minhaajus Sunnah, 4/315]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وكان أفاضل المسلمين ينهون عن الخروج والقتال في الفتنة كما كان عبد الله بن عمر وسعيد بن المسيب وعلي بن الحسين وغيرهم ينهون عام الحرة عن الخروج على يزيد وكما كان الحسن البصري ومجاهد وغيرهما ينهون عن الخروج في فتنة ابن الأشعث ولهذا استقر أمر أهل السنة على ترك القتال في الفتنة للأحاديث الصحيحة الثابته عن النبي صلى الله عليه وسلم وصاروا يذكرون هذا في عقائدهم ويأمرون بالصبر على جور الأئمة وترك قتالهم وإن كان قد قاتل في الفتنة خلق كثير من أهل العلم والدين
“Para pembesar kaum muslimin melarang dari pemberontakan dan peperangan dalam masa fitnah, sebagaimana Abdullah bin Umar, Sa’id bin Al-Musayyib, Ali bin Al-Hasan dan selainnya melarang kaum muslimin dari pemberontakan terhadap Yazid di masa Al-Harah. Sebagaimana juga Al-Hasan Al-Basri, Mujahid dan selainnya melarang dari pemberontakan pada fitnah Ibnul Asy’ats. Oleh karena itu, telah tetap pendapat Ahlus Sunnah bahwa tidak boleh berperang di masa fitnah berdasarkan hadits-hadits shahih yang berasal dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Dan para ulama terus menyebutkan hal ini dalam kitab-kitab aqidah mereka, dan para ulama memerintahkan umat untuk bersabar menghadapi kezaliman penguasa dan tidak memerangi mereka, meskipun pernah terlibat banyak ahli ilmu dan ibadah dalam peperangan di masa fitnah (tetap saja hal itu salah).” [Mihaajus Sunnah, 4/315-316]
Bagian akhir ucapan Syaikhul Islam di atas, yaitu tentang adanya sebagian ahli ilmu dan ibadah dari kalangan Ahlus Sunnah, seperti Al-Husain radhiyallahu’anhu dan lainnya yang pernah terlibat dalam pemberontakan maksudnya adalah tidak boleh dijadikan dalil, sebab perbuatan mereka telah menyelisihi dalil syar’i. Oleh karena itu para ulama kemudian sepakat, bahwa pemberontakan hukumnya haram sebagaimana yang telah kami nukil sebelumnya. Adapun keterlibatan sebagian ulama Ahlus Sunnah dalam pemberontakan itu terjadi sebelum adanya ijma’ tersebut, sehingga mereka tidaklah dihukumi sebagai khawarij, namun mujtahid yang salah.
An-Nawawi rahimahullah berkata,
قال القاضي وقيل أن هذا الخلاف كان أولا ثم حصل الإجماع على منع الخروج عليهم والله اعلم
“Al-Qodhi ‘Iyadh rahimahullah berkata: Dan dikatakan bahwa khilaf ini terjadi dahulu, kemudian telah sepakat (ijma’ ulama) akan dilarangnya pemberontakan, wallaahu a’lam.”[Syarah Muslim, 12/229]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
وقولهم كان يرى السيف يعني كان يرى الخروج بالسيف على ائمة الجور وهذا مذهب للسلف قديم لكن استقر الامر على ترك ذلك لما رأوه قد افضى إلى أشد منه ففي وقعة الحرة ووقعة ابن الاشعث وغيرهما عظة لمن تدبر
“Dan ucapan para Ulama: (كان يرى السيف), maknaknya adalah, dia (Al-Hasan bin Shalih) berpendapat boleh memberontak dengan pedang terhadap penguasa yang zalim. Pendapat ini dahulu merupakan mazhab sebagian Salaf. Akan tetapi setelah itu telah tetap pendapat Salaf akan tidak bolehnya melakukan pemberontakan, karena mereka telah melihat bahwa pemberontakan hanya mengantarkan kepada kondisi yang lebih buruk. Pada peristiwa Al-Harah, pemberontakan Ibnul Asy’ats dan lainnya terdapat pelajaran bagi orang yang merenunginya.” [Tahzibut Tahzib, 2/250]
Di tulis oleh ustadz Sofyan Chalid Ruray, Diambil dari situs nasihatonline.wordpress.com
0 komentar:
Post a Comment