Tuesday, June 3, 2014

Dakwah Salafiyah sebagai Solusi, Jangan Kau Nodai


(Tanggapan atas tulisan Saudara Mu*****)
بسم الله الرحمن الرحيم
Sebelumnya saya ucapkan juga juzita khairan atas komentar-komentar anda dan “Ahabbakallahu alladzi ahbabtani lahu”. Setelah saya cermati tulisan anda, ada beberapa hal yang perlu diluruskan :
1- Seandainya anda membaca dan memahami apa yang saya tulis dengan cermat dan teliti, maka anda tidak gegabah dan tidak tergesa-gesa serta tidak banyak berkomentar dan menanggapi sehingga bisa mengkaburkan bahkan melegalkan kebatilan. Semisal, ketika penulis mengatakan : “Berbagai elemen masyarakat banyak disibukkan....”. Kemudian anda mengomentari dan menanggapi dengan nada kurang sedap : “Sudah lumrah....siapa yang ragu dengan pengaruh seorang pemimpin terhadap ekonomi, agama dan sisi kehidupan lainnya”. Apakah disibukkannya masyarakat (yang banyak tidak paham aqidah shahihah) dengan politik seperti sekarang ini suatu yang positif atau negatif, wahai saudaraku ?! Sedangkan engkau sendiri mengatakan ketika mengomentari nasehat Syaikh Ali As-Salafi point (12) : “Penulis melihat, para dai memang seharusnya tidak menyibukkan diri dengan hal-hal yang menjadikan dia sibuk dengan selain ilmu dan dakwah....”. Bahkan engkau juga setuju dengan ucapan Syaikh Muqbil yang mencela hizbiyah karena disibukkan dengan politik. Namun mengapa ketika penulis mencela orang-orang tersebut yang sibuk dengan politik anda tidak terima dan berkomentar seperti di atas?!

2- Saudaraku Mu*****’, jika engkau berpikir secara jernih dan berhati-hati maka engkau tidak akan banyak mengomentari tentang ucapan para ulama yang mencela politik, karena yang mereka maksudkan adalah politik kotor seperti di negeri ini. Ataukah engkau mengganggap politik di negeri ini sudah suci dan syar’i?! Jawablah dengan lantang. Tidak ada Salafi yang menolak politik secara mutlak hingga menolak juga siyasah syar’iyah (politik syar’i). Jangan seperti orang awam atau ahli bid’ah yang mengatakan Wahabi/Salafi tidak mau shalawatan gara-gara kita mengingkari shalawat nariyah. Syaikh Abdul Malik Ramadhani –hafidzahullahu- berkata : “Aku tidak perlu untuk menjelaskan bahwa politik termasuk bagian dari agama, karena sesungguhnya aku yakin bahwa tidaklah level kalian yang setinggi ini menjadikan kalian menuduh penulis bahwa dia memisahkan antara agama dan negara[1][1]........Dan tidaklah menyingkirkan syariat melainkan jahiliyah yang dimurkai (Allah) :
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ.
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?(QS.Al-Maidah : 50).
Ketahuilah, bahwa sebab kegagalan kelompok pergerakan Islam pada saat ini dalam memperbaiki kerusakan yang universal adalah kesalahan mereka dalam metode perbaikan. Yaitu ketika mereka masuk dalam kubangan politik dan menjadikannya sebagai pondasi reformasi. Meskipun mereka mengaku di atas manhaj yang benar dan dakwah yang komplit serta manajemen yang profesional......Adapun masuk ke dalam kancah politik pada saat ini maka tidaklah yang melakukannya melainkan orang-orang yang telah terjebak dalam jaring-jaring setan untuk membinasakannya dalam puncak kejelekan. Setan pun membujuknya dengan rayuan bahwa tidak boleh meninggalkan parlemen untuk orang-orang fasik dan sekuler. Dan bahwasanya tidak boleh bagi seorang muslim untuk tidak bersuara....Dan bahwasanya undang-undang Yahudi itu hampir diterapkan di negeri ini dan itu seandainya tidak ada menteri ini dan itu.....dan masih banyak lagi propaganda-propaganda yang tidak dibangun di atas pandangan syar’i, sebagaimana juga tidak dibangun di atas pandangan fakta di lapangan. Orang yang jujur dalam renungan dan penelitiannya di lapangan akan mendapati sekelompok orang yang masuk ke dalam (kubangan politik) dengan tujuan untuk merubah, namun justru mereka yang terubah[2][2]. Maka sungguh benar sabda Nabi r : “Barangsiapa yang mendatangi pintu pemimpin maka dia akan terfitnah”. (HSR.Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i dan Baihaqi). Dan dalil tentang larangan duduk bergabung dengan mereka dalam parlemen (kubangan politik) adalah firman Allah :
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّىٰ يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ ۚ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا
Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), Maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. karena Sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. (QS.An-Nisa : 140).[3][3]
Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman –hafizhahullahu- berkata : “Kami mengingkari kalau politik sekarang ini ada agama di dalamnya ! Akan tetapi kami tidak mengingkari bahwa dalam agama ada politik. Politik yang satu ini (Politik Syar’i) ada tujuan dan mashlahat yang diperhitungkan. Dan kami melarang anak-anak yang masih ingusan dan yang masih dalam tahapan belajar untuk (lancang) menetapkan atau mengira-ngirakannya (ikut berpolitik)[4][4]. Dan kami katakan kepada mereka (kebanyakan adalah para pemuda yang berapi-api) dan mereka melangkahi para pakar ulama. Sesungguhnya tidak selayaknya bagi kalian untuk masuk ke dalam kancah politik, karena kalian belum menguasainya. Dan dilarang bagi kalian untuk bersuara politik.....Dan kita mengatakan : Sesungguhnya jalan kalian untuk meraih kemuliaan ilmu tidak mungkin bisa bergandengan dengan kotoran politik.....Dan kalian akan dikuasai oleh perangai yang buruk dan politik ini akan menjerumuskan kalian ke dalam sarang penyamun.......Yang wajib secara syariat bagi para ulama terutama di zaman ini adalah menghidupkan ajaran Allah lewat tashfiyah dan tarbiyah serta menfokuskan diri untuk menjalankan misi dan visi yang mulia ini. Tidak layak bagi mereka untuk masuk ke dalam kubangan politik dari dekat maupun dari jauh. Meskipun mereka adalah orang yang paling paham tentang apa yang menimpa negeri mereka dari topan perselisihan. Jangan sampai tragedi besar mengeluarkan ulama dari kewibawaan mereka dan mengoncang kemuliaan mereka serta jangan sampai fitnah tersebut mengiring mereka ke dalam jurang yang tidak ada seorang pun yang selamat dan tidak ada manfaatnya lagi pengobatan.[5][5]
3- Anda mengatakan : “Dan dalam menilai sesuatu, kita tidak dibebani kecuali dengan apa yang tampak dalam pandangan kita....”. Apakah pernyataan ini berlaku untuk dan kepada semua orang ?! Atau ada pengeculiaannya ?! Saya ulangi lagi, apakah pernyataan anda itu berlaku untuk dan kepada semua orang atau tidak berlaku kepada saya ?! Coba pikirkan dengan matang wahai saudaraku, penulis dengan lantang dan terang benderang (nampak alias dzahir) di awal tulisan sudah mengatakan “Tulisan ini tidak membahas apa yang diistilahkan oleh sebagian ikhwah dengan masalah ikhtilaf ijtihadi antara para ulama yang membolehkan....dan yang tidak membolehkan”. Namun engkau melihatnya dengan ilmu kebatinanmu bukan dengan ilmu dzahirmu, sehingga engkau paksakan pemahamanmu yang salah kaprah kepada para pembaca. Kalau ada yang memahami diluar yang nampak dari ucapanku tersebut, maka sungguh benar kata seorang penyair :


وَكَمْ مِنْ عَائِبٍ قَوْلًا صَحِيْحًا وَآفَاتُهُ مِنَ الفَهْمِ السَّقِيْمِ
Berapa banyak orang yang mencela ucapan yang benar
Itu sebabnya adalah pemahamam yang sakit/salah
Bahkan penulis tegaskan lagi disini bahwa sebab ditulisnya makalah tersebut karena melihat saudara-saudara kita telah melewati garis khilaf ijtihadi dalam masalah tersebut.
4- Wahai saudaraku M******’, engkau pasti tahu bahwa ciri Salafy tidak mencela ulama. Namun di waktu yang sama Salafy tidak fanatik kepada ucapan ulama. Salafi menerima ucapan ulama yang sesuai dengan kebenaran dan fakta di lapangan. Jika ulama salah dalam berpendapat, apakah yang mengikuti kesalahan ulama tersebut boleh kita salahkan atau tidak ?! Apakah hal itu berarti menjatuhkan nama ulama ?! kalau demikian, alangkah sempitnya dunia ini !!!.
5- Wahai saudaraku, jika engkau konsisten dengan ucapanmu yang mendukung fatwa untuk salafi masuk parlemen. Sekali lagi, jawablah dengan jujur dan lantang, apakah politik dan parlemen di negeri ini bersih dan syar’i ?! Apakah politik dan parlemen di negeri ini bukan politik kotor sehingga engkau membolehkan masuk ke dalamnya ?! Jika engkau menjawab : bersih, maka inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Namun jika engkau mengatakan kotor, maka sikap plin plan ada pada dirimu. Engkau mengiyakan petuah-petuah Syaikh Ali dan para ulama yang mencela politik kotor, namun di waktu yang sama engkau membolehkan masuk ke dalam kotoran tersebut. Apakah engkau ingin saudara-saudaramu masuk ke dalam kubangan politik ?! Apakah engkau menginginkan agar mereka menjadi korban-korban kejahatan politik ?! Apakah engkau ingin menjerusmuskan dirimu dan saudaramu ke dalam politik yang terlaknat, sebagaimana komentar anda “Ya, Laknat Allah atas politik yang kotor” ?! Na’udzu billahi min dzalika.
6- Dan jika engkau konsisten, mengapa engkau membolehkan salafi masuk parlemen namun engkau tidak setuju membuat partai dengan mengatakan : “Mungkinkah salafi membentuk partai ? Penulis juga melihat, memang salafi sekarang ini tidak perlu membentuk partai.” Bagaimana masuk parlemen tanpa partai ?! Kenapa tidak sekalian mengambil fatwa ulama yang membolehkan membuat partai ?!
7- Berkaitan dengan istilah kampanye hitam, wallahu a’lam yang pernah ana dengar dari salah seorang pakar komunikasi politik negeri ini. Bahwa masuk kategori kampanye hitam adalah pembunuhan karakter sang capres, beda dengan kampanye negatif yang menguliti misi dan visinya. Terlepas dari itu semua, semisal menyebarnya sms di kalangan salafiyyin tentang keberadaan seorang capres yang dituduh kafir[6][6], apakah itu bukan kampanye hitam ?! Ini juga mengingatkan kita kepada kampanye hitam yang dulu menyasar kepada ibu negara kita sekarang. Maukah kita jadi bulan-bulanan isu politik yang kotor ini ???!!!
8- Apakah mendukung salah satu capres dengan cara berikut ini, masih dalam kategori wajar atau sudah melampaui batas :
A- Ingin menqiyaskan capres tersebut dengan Al-Khalifah Ar-Rasyid Umar bin Al-Khaththab ?![7][7]
B- Mendatangi kantor pusat tim sukses dan berfoto ria dengan salah satu kandidat serta menyebarkannya di dunia maya?!
C- Menyerang sang lawan dengan memelesetkan namanya ?!
D- Mengomentari mantan presiden dengan mengatakan “....Walaupun, pada kenyataannya, sewaktu ibu jadi penguasa, suami ibu sering ngintil alias mengekor ibu ke mana-mana.”[8][8] Kalau engkau ragu untuk menjawab tolong tanyakan kepada para masyayikh salafiyin di Madinah !!! Apa yang dilakukan oleh sebagian teman-teman kita di atas pernah disampaikan langsung oleh Ustadz Abdurrahman At-Tamimi kepada Syaikh Ali dan beliau pun mengatakan : “Itu bukan ajaran salaf sama sekali, itu salah dan salah”. Tapi barangkali ada khilaf juga dalam masalah ini ???!!!. Apakah kita ingin selalu berhujjah dengan ikhtilaf ulama ?![9][9]
9- Apa yang disampaikan oleh Syaikh Ali, sebagaimana yang kita ketahui bersama masih berkaitan dengan Hizbunnuur di Mesir. Dan Engkau pun mengatakan “Pasnya pesan ini, bagi mereka yang masuk dalam politik kotor...” Apakah politik di negeri kita ini lebih baik/bersih dari yang di Mesir ?! Apakah petuah Syaikh Ali tidak pas dengan orang-orang yang mau terjun ke perpolitikan negeri ini ?! Ataukah engkau mau membersihkan kotoran politik ini jika turun gunung nanti ?! Syaikh Ali As-Salafi ketika memberikan nasehat tersebut bukan ditujukan kepada yang sekedar ikut pemilu namun yang sudah berpolitik dalam parlemen. Andaikata anda baca buku beliau, maka mungkin anda tidak berkomentar seperti itu.
10- Ya Akhi, apakah ulama yang berpendapat tidak bolehnya ikut serta dalam pencoblosan berarti tidak ada usaha lahiriah ?! Alangkah sempitnya pandanganmu ini ?! Rasulullah r ketika di Mekah ditawari oleh Utbah bin Rabi’ah kepemimpinan, namun beliau tidak mau menerimanya. Apakah tidak ada usaha lain selain itu?! Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullahu yang tidak ikut pemilu, apakah beliau tidak ada usaha untuk Islam dan kaum muslimin ?! Apakah menyebarnya dakwah yang haq di negeri Yaman (yang sama sistem pemerintahannya dengan kita) lewat politik atau lewat dakwah beliau ba’dallahi ‘azza wa jalla ?! Tidakkah engkau ingat petuah Syaikh Ali (point 5)?! Apakah itu tidak cukup bagimu?! Kenapa ngak ditanggapi ?!
Kalau ada yang kurang berkenan saya mohon maaf dan mudah-mudahan tulisan ini juga bermanfaat bagi kaum muslimin khususnya Salafiyyin di negeri kita ini. Dan Semoga Allah menjauhkan kita dari fitnah politik yang nampak maupun yang tersembunyi. Amin.
قَالَ يَا قَوْمِ أَرَأَيْتُمْ إِنْ كُنْتُ عَلَىٰ بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَرَزَقَنِي مِنْهُ رِزْقًا حَسَنًا ۚ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَىٰ مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ ۚ إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ ۚ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ ۚ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan dianugerahi-Nya aku dari pada-Nya rezki yang baik (patutkah aku menyalahi perintah-Nya)? dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali. (QS.Huud : 88)

Surabaya, 4 Sya’ban 1435 H atau 2 Juni 2014.
Abu Nafisah Abdurrahman Thayib







[1]Namun sangat disayangkan ada saja yang mengira kalau kita menolak politik secara mutlak. Ya inilah keajaiban dunia.

[2] Seperti yang kita lihat di negeri yang kita cintai ini, satu demi satu tokoh-tokoh partai Islam itu berguguran di tengah jalan. Fitnah syahwat dan syubhat telah menjerat mereka, mereka legalkan kesyirikan dan kebidahan dan sebagian mereka tertangkap KPK.

[3] Madaariku An-Nazhar Fi As-Siyasah...hal.196-197 oleh Syaikh Abdul Malik Ramadhani Al-Jazaairi cet.Maktabah Al-Furqan 1422 H/2001.

[4] Mungkin termasuk di dalamnya juga yang S2 atau S3 bukan hanya yang SD, SMP, SMA dan S1.

[5] As-Siyasah al-lati yuriduha As-Salafiyyun hal.35-37 oleh Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman Cet.1 tahun 1425 H/2004 M.

[6] Jangan su’udzan dulu, bukan maksud ana untuk membelanya tapi Islam mengajarkan kepada kita untuk berbuat adil kepada siapa pun.
$pkr'¯»tيَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS.Al-Maidah : 8)


[7] Seorang penyair mengatakan :
ألم تر أن السيف ينقص قدره إذا قيل أن السيف أمضى من العصا
Tidakkah engkau tahu bahwa pedang itu berkurang nilainya
Jika dikatakan bahwa pedang lebih tajam dari tongkat.

[8] Hingga ada yang komentar : “orang yang ngaku berilmu....tapi sama seperti orang bodoh.....suka ngolok-olok kayak anak-anak...kalo yang berilmu kayak gini gimana yang ngak (berilmu)....”. Jagalah wibawa ilmu dan dakwah, jangan kau nodai.

[9] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullahu- berkata : “Tidak boleh bagi siapapun untuk berhujjah dengan ucapan seorang pun dalam masalah yang diperselisihkan. Sesungguhnya hujjah itu ada pada nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan ijma’ serta dalil yang diambil darinya......Ucapan ulama ditimbang dengan dalil bukan dalil yang ditimbang dengan ucapan ulama”. (Majmu’ Fatawa oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 26/202-203). Lihat “Ilmu Ushul Bid’ah” hal.191-198 oleh Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi.

0 komentar:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...